Senin, 07 November 2011

Seksologi ala Kamasutra

Pendahuluan

Seks merupakan satu kebutuhan manusia, di samping juga binatang. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap pemenuhan kebutuhan dorongan nafsu seksual bagi umat manusia yang berbudaya, maka lembaga perkawinan merupakan pranata sosial yang secara formal dibenarkan baik oleh ajaran agama maupun hukum yang berlaku di masyarakat. Seseorang tidak dibenarkan untuk menghumbar hawa nafsu seksnya di sembarang tempat. Dalam kehidupan keluarga dan dalam ikatan suami istri, kitab hukum Hindu, yakni kitab Manavadharmasastra mengamanatkan untuk tidak jemu-jemunya mengikatkan tali perkawinan.
Pendidikan seksologi secara formal tidak pernah diselenggarakan di lembaga pendidikan, demikian pula dalam keluarga, sehingga informasi tentang seks tidak banyak diketahui oleh generasi muda. Informasi tentang seks diperoleh melalui buku atau media massa. Akibat dari kurangnya informasi tentang seks (seksologi) maka sering terjadi penyimpangan prilaku utamanya di kalangan generasi muda yang umumnya memiliki keperibadian yang cenderung tertutup atau kurang berkomunikasi dengan teman sebaya, dengan guru, orang tua dan tokoh-tokoh masyakat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan, hukum, dan ajaran agama.
Dewasa ini generasi muda mengenal informasi tentang seks melalui media internet yang kadang-kadang bila tidak mampu mengendalikan diri bisa menyesatkan. Di sinilah pentingnya pendidikan seksologi yang tentu disesuaikan dengan perkembangan kepribadian anak dan metodologi yang tepat untuk itu. Pada masyarakat Bali, di beberapa desa masih ditemukan ritual kesuburan yang secara vulgar memperlihatkan sexual incource di hadapan khalayak (lihat foto terlampir), namun demikian, kemungkinan karena pembicaraan tentang seks lebih terbuka pada masyarakat tersebut, maka kasus penyimpangan seksual termasuk pemerkosaan di lingkungan masyarakat tersebut tidak pernah terjadi. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, kiranya pendidikan seks perlu disampaikan kepada generasi muda dan masyarakat secara luas. Tulisan ini sesuai dengan permintaan Panitia Pertemuan Ilmiah Tahunan III Himpunan Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesisa membahas Pengetahuan Seksologi ala Kamasuttra yang kiranya dapat memperluas wawasan tentang seksologi.

* Makalah disampaikan pada acara Workshop Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesisa, diselenggarakan oleh Panitia Pertemuan Ilmiah Tahunan III Himpunan Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia bertempat di Agung Room Inna Grand Bali Beach Hotel Sanur, Bali.
**Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D. Guru Besar Ilmu Veda, Fakultas Brahma Widya dan Rektor Institut Hindu Dharma Negri Denpasar, alumni Pendidikan Doktor, Vedic Department, Gurukula Kangri University, Haridwar, Uttarpradesh, India (1993) dan alumni Pendidikan Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar, Bali (2005) mantan Perwira TNI-AD (1978-1985) dan Anggota DPRD Bali (1997-1999), dan kini juga sebagai Ketua PHDI Pusat Korwil Bali-Nusa Tenggara.


Seks di dalam kitab suci Veda dan Susastra Hindu

Kehidupan seksual pada zaman Veda pada umumnya adalah heteroseksual (antara laki-laki dan perempuan). Homoseksual di antara sesama lelaki dan perempuan, selengkapnya tidak dikenal dan bila mungkin ada kasus tersebut, kitab suci Veda tidak pernah menyebutkan. “In this respect ancient India was far healtier than most other ancient culture” demikian kata-kata A.L. Basham dalam bukunya The Wonder That Was India yang di kutip kembali oleh Ivo Fiser (1989:64) dan menambahkan tidak pula ada informasi tentang hubungan manusia dengan binatang (bestiofilia) yang tercatat dalam literatur Sanskerta seperti fakta yang umum pada peradaban kuna seperti halnya kehidupan para nomadic tribes di era modern ini.
Dari keterangan tersebut di atas dapat diketahui bahwa kehidupan seksual yang diamanatkan dalam kitab suci Veda adalah kehidupan seksual yang normal, antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Lebih jauh A.L. Basham (1992:172) mengatakan bahwa kehidupan seksual adalah hal yang positif sebagai tugas keagamaan, tugas suci (religius duty), yang diamanatkan pada suaminya untuk menggauli istrinya pada masa delapan hari setelah istinya menstruasi.
Ivo Fiser pada halaman yang sama di atas menyatakan: “Acccording to a later Hindu conception, the sex nature of woman was superior to that of men. In the Vedic Samhita, married woman often took initiative in the intercource and were given full credit of it
A woman (jaya) prepares her yoni for her husband (pati, filled with desire (usali) and beautifull attired (RV. IV.3.2). She gives herself to her lord willingly (RV. IX.82.4); she is the home (astam), she is the yoni (RV.III.53.4). The wives (janayah) beauty themselves (sumbhante)(RV.I.85.1) and we often find them rushing into the arms of their husbands and appearing befor them all their beauty. There also two kind woman (bhadre) caressing a man (josayete)(RV.95.6). Married woman reward a bold man (RV. I.62.10). Filled with desire, they caress (sprisanti) a desiring husband (RV. I. 6.11); they incite him as loving woman sexually incite their loves (RV.I.71.1). A wife (jaya), lying on a couch , is ready for anything (or anyone)(RV.I.66.5).  
Dalam uraian yang lain A.L. Basham (1992:172) menyatakan orang India pada umumnya, seperti halnya di belahan bumi lainya, menganut azas perkawinan monogami dan poligami tidak dikenal dalam Rigveda. Para raja dan pemimpin umumnya dalam beberapa variasi ada yang berpoligami. Dalam situasi yang normal poligami tidak dianjurkan ke dalam literatur yang lebih tua. Dalam Apastamba Dharma Sutra (II.5.11) secara tegas melarang menghamili istri yang kedua, bilamana istri pertama memiliki karakter yang baik dan melahirkan beberapa anak. Dalam Narada Dharma Sutra (I.I90) dinyatakan seseorang yang melakukan poligami tidak pantas dinyatakan untuk hadir dalam sidang pengadilan (penegakkan hukum). Dalam Arthasaatra (III.2) dinyatakan bahwa pelaku poligami dianggap ceroboh, dan keduanya diwajibkan membayar kompensasi kepada istrinya yang pertama. Yang menjadi contoh atau model perkawinan yang ideal adalah perkawinan Rama dengan dewi Sita yang sangat setia, saling mencintai, tidak pernah terusik oleh adanya istri yang kedua.
Di dalam kitab suci Veda gejala atau fenomena alam sering disimbolisasikan sebagai aktivitas seksual. Hujan sering disebut sperma, cairan mani (retah) yang menyuburkan tanah (RV. I.100.3;128.3 dst., AV. IV.15.11). Parjanya, dewa hujan disebut menyimpan spermanya pada milik istrinya yang tampak seperti sapi jantan (RV. III.55.17). Ia disebut juga retodha atau yang melahirkan semua tumbuh-tumbuhan.(RV. VII.101.6; dst.III. 56.3; AV. VIII.7.21). Ia disebut juga yang memberi kesegaran (yang memuaskan) bumi dengan spermanya. Aktivitas penciptaan alam kadang-kadang digambarkan sebagai hubungan seksual antara Dyauh (Bapak langit) dengan Prthivi (Ibu langit). Ia menjadi basah diresapi (garbharasa) dan ditusuk (nividdha) olehnya (RV. I.164.8). Ide berpasangan dalam berhubungan dinyatakan dalam bentuk kata majemuk ‘dvandva’ yakni dyavaprthivi (Fiser, 1969:44). Sesungguhnya sangat banyak gejala alam (natural phenomenal) yang digambarkan sebagai seksual intercourse yang dampaknya memberikan kesuburan kepada bumi.
Berikut kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan, istri atau wanita dan laki-laki: Seorang gadis hendaknya suci, hendaknya berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi (AV. XI.1.27). Seorang gadis menentukan sendiri pria idaman calon suaminya (svayamvara/RV. X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (RV. X.85.36). Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita (RV. I.164.32). Terjemahan mantra ini menunjukan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan (AV. XIV.1.42).
Dalam perkembangan ketika muncul pemujaan kepada ‘linga dan yoni’ yang diduga akarnya berasal dari masa pra–Veda, maka visualisasi ‘linga dan yoni’ baik yang tersamar (distilir) maupun yang natural dan bahkan yang vulgar mulai tampak sesudah zaman Veda dan berkembang dalam berbagai aspek budaya (seni arca, lukis) dan sebaginya.


Seks dan Pengendalian Diri

Pada manggala (bagian awal dari tulisan) ini telah dikutipkan tentang pentingnya pengendalian diri terhadap adanya dorongan nafsu seks yang sering menjerumuskan umat manusia. Berdasarkan kutipan tersebut maka penyaluran dorongan seksual hanya dibenarkan melalui lembaga perkawinan (vivaha) dan lembaga perkawinan dianggap sah bila dilakukan dengan Vivahasamskara. Perkawinan adalah sebuah upacara Yajna, demikian dikatakan dalam kitab Taittriya Brahmana (II.2.2.6) (Pandey, 1991:153). Bila terjadi hubungan seksual tanpa pelaksanaan upacara Vivahasamskara, maka hal itu tidak dianggap sebagai perkawinan yang sah. Lebih jauh tentang seks dan perkawinan diamanatkan didalam Veda dan Susastra Hindu sebagai berikut:
  • Sam jaspatyam suyamam astu devah (RV. X.85.23).

    ‘Ya, para dewata, semoga kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tentram’
  • Asthuri no garhapapatyani santu (RV. VI.15. 19).

    ‘Hendaknyalah hubungan suami-istri kami tidak bisa putus berlangsung abadi’
  •  Sam anjantu visvedevah, samapohrdayaninau (RV X.85.42).

    ‘Semoga para dewata dan apah mempersatukan hati kami, suami-istri
  • Ihaiva stam ma vi yaustam, visvam ayur vyasnutam.
    Kridantau putrair naptrbhih, modamanau sve grhe (RV. X.85. 42).

    ‘Ya, pasangan suami-istri, semoga anda tetap disini dan tidak pernah terpisahkan. Semoga anda berdua mencapai kehidupan yang penuh kebahagiaan. Semoga anda, bermain dengan anak-anak lakimu dan cucu-cucu lakimu, tinggal di rumah ini dengan gembira.
Mantra terakhir (RV. 85. 42) tersebut di atas dapat kita jumpai kembali di dalam kitab AV. XIV. 1.22 yang menyiratkan tentang makna perkawinan untuk menwujudkan kehidupan dan kebahagiaan bersama dengan putra-putri dan cucu-cucu yang lahir dari perkawinan mempelai diamanatkan untuk bergembira dan tinggal di rumah sendiri yang menunjukkan kepada kita seseorang yang telah siap memasuki masa Grihastha (hidup berumah tangga) hendaknya dapat menyiapkan rumah sendiri, tidak tergantung kepada orang lain. Jadi sebelum memasuki Grihasthasrama, seorang Brahmacari (pemuda/layang) secara matang harus mandiri untuk nantinya dapat mewujudkan perkawinan ideal sebagai diamanatkan dalam mantra Veda di atas. Untuk itu seseorang dituntut berkerja keras sesuai dengan Dharma.
Lebih jauh tentang makna atau prinsip dasar tentang tujuan perkawinan di tegaskan dalam kitab-kitab Dharmasastra (Kantawala, 1989:89) adalah untuk mewujudkan 3 hal, yaitu:
  1. Dharamasampatti, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma  yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajna, sebab di dalam Grhastalah Yajna dapat dilaksanakan secara sempurna.
  2. Praja , kedua mempelai mampu melahirkan keturunan (putra-putri) yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajna dan lahirnya putra yang suputra (Berbudhi perkerti luhur) seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitrarna), kepada Tuhan Yang Maha Esa (Devarna) dan kepada para guru (Rsirna).
  3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan Kama ) yang tidak bertentangan Dharma
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, maka perkawinan menurut kitab suci Veda dan Susastra Hindu lainnya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan bersama lahir dan batin termasuk pula dalam pengertian memperoleh keturunan yang suputra (anak-anak dan cucu-cucu) sebagai penerus kehidupan keluarga. Lebih jauh kitab suci Veda menyatakan bahwa suami-istri itu satu jiwa dalam dua badan.Aksyau nau madhusamkasenau samanjanam,
Antah krnusva mam hrdi mana innausahasati (AV. VII.36.1).
‘Hendaknya manis bagaikan madu cinta kasih dan pandangan antara suami dan istri penuh keindahan. Semogalah senantiasa hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian (diantara mereka). Semoga satu jiwa bagi semuanya.’
Terhadap terjemahan mantra ini, Devi Chand (1982:299) menjelaskan: hendaknya saling mengusahakan kebahagiaan bersama seperti halnya para dokter meneliti tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh manfaat dari tumbuh-tumbuhan itu (sebagai orang yang berguna). Demikianlah antara seorang suami dan istri senantiasa berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan sesuai Brata-Brata Vivāha (kewajiban dan pantangan-pantangan ) dalam perkawinan.
Suami dan istri hendaknya tidak jemu-jemu mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan dalam rumah tangga diamanatkan pula dalam Manavadharmasastra sebagai berikut.
  • Tatha nityam yateyatam stripumsau tu krtakriyau,
    Ytatha nabhicaratemTau tau viyukta vitateratam. (Mdhs. IX.102).

    ‘Hendaknya lak-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya agar mereka tidak bercerai, mewujudkan antara satu dengan yang lain’.
  • Anyonyasyavy abgicaro bhaved amaranantikah,
    Esa dharmah samasena jneyah stri pumsayoh parah. (Mdhs. IX.101).

    ‘Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus dianggap hukum yang tertinggi bagi suami istri.’
  • Samtusto bharyaya bharta bhartra bharya tathaiva ca,
    Yasminn eva kule nityam kalyanam tatra vai dhruvam. (Mdhs. III.60).

    ‘Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagian pasti kekal dan abadi’
Suami dan istri diamanatkan untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku) dan memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sediri dan hidup didalamnya:
Syonadyoneraghi budhyamanau sahamudau hasamudau
mahasa modamanau sugu suputrau suguhrau tar-thau
jivabusaso vibhatih (AV. XIV.2.43).
‘Wahai suami dan istri, hendaknya kamu berbudi pekerti yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan diantara kamu. Lakukanlah tugas dan kewajibanmu dengan baik dan patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah bersuka cita di dalamnya’.
Berdasarkan uraian di atas maka pengendaliaan diri terhadap dorongan seks sangat diperlukan oleh setiap orang, terlebih lagi bagi mereka yang sedang menempuh kehidupan Brahmacarya (masa belajar)  seperti diamanatkan dalam Mahabarata (Adiparva I. 170 .71):  ‘brahmacaryam paro dharmah’ , chastify is the highest virtue or the highest law ( Meyer, 1989:258 ).
Ada hal yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang popular disebut dengan nama Smarastava, Panca Kanyam.  Mantra ini terdiri dari satu bait mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yang meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita Siva, mantra ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang istri hamil) dan pada saat bayi berumur tiga bulan (Hooykaas, 1971:38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Panca Kanya, sebagai berikut:
Ahalya Draupadi Sita, Tara Mandodari tatha.
Panca-kanyam smaren nityam, Maha-pataka-nasanam.
‘Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 perempuan
mulia, yaitu : Ahalya, Draupadi, Sita, Tara dan Mandodari.
Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dilenyapkan’.
Terhadap mantram di atas, Prof. Dr. C. Hooykaas (1971:38) memberikan penjelasan tentang kelima perempuan mulia itu, sebagai berikut: “Ahalya popular dikenal sebagai istri dari maharsi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan (dibebaskan) oleh Sri Rama. Draupadi dan Sita adalah masing-masing pahlawan perempuan dalam Mahabharata dan Ramayana. Tara adalah istri Brhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan Mandodari tercatat sebagai paling favorit dari para istri Rahvana. Kelima orang perempuan itu digambarkan secara tradisional sebagai perempuan yang sangat cantik dan menawan. Tokoh-tokoh perempuan ideal pada umumnya dari kalangan profesi Brahmana dan Ksatriya. Demikian antara lain tokoh-tokoh perempuan idieal dalam Veda dalam Susatra Hindu lainnya. Di samping tokoh-tokoh ideal di atas, terdapat juga tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru, antara lain: Kaikeyi, Surphanaka (Titib, 1998:53) di dalam kitab Ramayana.
Di dalam kehidupan sehari-hari (di Bali), bila seorang istri dalam keadaan hamil, maka pihak keluarga suami berusaha mengadakan acara ‘Prasantian’ dan ‘dharmagita’ dengan harapan bayi dalam kandungan istrinya dapat mendengarkan (vibrasi) dan sifat-sifat mulia dan keutamaan tokoh-tokoh protagonis dari teks-teks yang dibaca. Umumnya teks-teks yang dibaca adalah Ramayana, Sarasamuscaya dan lain-lain.


Seksologi ala Kamasutra

Kamasutra adalah karya seni seorang maharsi atau pertapa bernama Vatsya, yang memiliki Guruparampara (the line teachers), yang menulis karya yang sangat terkenal bernama Vatsyayanasutra, Kamasastra atau Kamasutra (ilmu percintaan) (Mani, 1989:840). Di samping itu ia juga menganjurkan untuk mempelajari 64 cabang seni bagi seorang wanita yang ingin sempurna .
Kamasutra dimasukkan ke dalam kelompok Upaveda, yakni bagian dari Gandharvaveda (ilmu tentang seni) yang merupakan buku referensi dari kitab suci Veda. Kitab ini (Spellman,1997:IX-XII) terdiri dari 7 bagian dan pada masing-masing bagian terdapat sub-sub bagian. Bagian pertama (terdiri dari 4 bab) berisi uraian tentang pencarian Purusartha yang di Bali lebih populer dengan istilah Catur Purusa Artha yang berarti empat tujuan hidup manusia, yakni terwujudnya ajaran Dharma dalam kehidupan, diperolehnya Artha (meteri atau harta benda pendukung hidup yang diperoleh dengan jalan yang benar/Dharma), Kama (kenikmatan atau terpenuhinya dorongan nafsu yang tidak melanggar hukum/Dharma) dan Moksa (tujuan tertinggi dalam kehidupan adalah untuk mencapai kebebasan berupa kebahagiaan yang abadi. Di samping itu juga kajian terhadap 64 cabang seni ketrampilan. Tentang penataan rumah dan peralatan rumah tangga, tentang kehidupan sehari-haris seorang warga, kenalan, hiburan dan lain-lain. Juga tentang penggolongan wanita yang layak dan tidak layak bergaul dengan warga, dengan teman-temannya dan para pembawa pesan (kurir).
Bagian kedua terdiri dari 10 bab. Menjelaskan tentang hubungan seksual, jenis-jenis hubungan seks, kekuatan keinginan dan waktu, dan tentang jenis-jenis cinta kasih yang berbeda-beda. Tentang pelukan (rangkulan), ciuman, remasan atau isyarat dengan menggunakan kuku, pagutan dan cari bercinta yang diterapkan secara berbeda-beda dari dari negeri yang berbeda-beda pula, berbagai cara berbaring dan berbagai macam hubungan badan. Berbagai cara menyerang dan suara-suara yang cocok untuk mereka. Tentang wanita yang berperan sebagai laki-laki, tentang mengulum linggam (phalus) di mulut. Cara memulai dan mengakhiri hubungan badan dan rintihannya.
Bagian ketiga terdiri dari 4 bab menguraikan tentang pencarian seorang istri, pengamatan tentang pacaran dan perkawinan, penciptaan kepercayaan kepada gadis-gadis. Hal-hal yang boleh dilakukan laki-laki dalam pencarian gadis dan sebaliknya apa yang boleh dilakukan seorang gadis untuk mendekati pria dan menundukkannya, juga tentang bentuk-bentuk perkawinan tertentu.
Bagian keempat terdiri dari 2 bab yang menguraikan istri seseorang, cara hidup wanita bijak, kebiasaanya selama suaminya tidak di rumah, Tentang prilaku istri tertua terhadap istri-istri lain dari suaminya dan tentang sikap istri yang lebih muda terhadap yang lebih tua. Sikap seorang janda perawan yang kawin lagi, seorang wanita yang tidak disukai suaminya, dan seorang suami yang memiliki lebih dari seorang istri.
Bagian kelima terdiri dari 6 bab menguraikan tentang istri-istri orang lain. Ciri-ciri pria dan wanita serta alasan mengapa wanita menolak sikap pria. Tentang pria yang berhasil dengan  wanita dan tentang wanita yang gampangan. Tentang Perkenalan dengan wanita dan usaha untuk mendapatkannya. Penjajagan


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review