Minggu, 06 November 2011

Tata Cara Bangunan menurut Asta Kosala Kosali (Fengshui ala Bali)

Landasan Filosofis, Etis, Ritual

  • Landasan Filosofis.
    1. Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
      Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
    2. Unsur-unsur pembentuk.
      Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
  • Landasan Etis
    1. Tata Nilai.
      Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala
    2. Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
      Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
  • Landasan Ritual
    Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

Konsepsi Perwujudan

Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam:
  1. Keseimbangan alam
  2. Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
  3. Tri Angga dan Tri Mandala.
  4. Harmonisasi dengan lingkungan.
  5. Keseimbangan Alam:
    Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
  6. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
    Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
  7. Tri Angga dan Tri Mandala.
    Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
    dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
    bernilai kanista (misalnya: kandang).
    Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap,
    Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari
    tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
  8. Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
    Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.

Pemilihan Tanah Pekarangan

  1. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah (berbau pedas).
  2. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
    1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
    2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
    3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
    4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
    5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
    6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
    7. karang tenget,
    8. karang buta salah wetu,
    9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
    10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
    11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau "bengualid" (busuk)
  3. Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun

  1. Pekarangan Sempit.
    Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
    Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
  2. Rumah Bertingkat.
    Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
  3. Rumah Susun.
    Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Dewasa Membangun Rumah

  1. Dewasa Ngeruwak:
    Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
    Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
  2. Nasarin:
    Watek: Watu.
    Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
    Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
  3. Nguwangun
    Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
  4. Mengatapi
    Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
    Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
  5. Memakuh/ Melaspas
    Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
    Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.

Upacara Membangun Rumah

  1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
    Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
    Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae.
    Setelah "Angrubah sawah" dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
  2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
    Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
    Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
  3. Upakara Pemelaspas.
    Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng.
    Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara
  4. dan upakara tersebut di atas disesuaikan
    dengan kondisi setempat

Fengshui ala Bali

Tanah dan tata letak rumah berpengruh terhadap kehidupan penghuninya. Lontar Asta Kosala Kosali atau Asta Bumi bisa dijadikan acuan. Bagaimanakah bangunan arsitek bali yang bisa membuat penghuninya bisa nyaman dan bahagia.
Menurut ida Pandita dukuh Samyaga,perkebangan arsitektur bangunan Bali,tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11,atau zaman pemerintahan Raja Anak wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14,juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga.Lebih jauh dikemukakan,Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur,sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.Dalam kisah tersebut,hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur.Karenanya,tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma.Upacara demikian di lakukan mulai dari pemilihan lokasi,membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai.Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya.Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos)sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos)dan bangunan yang ditempati harus harmonis,agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Tanah

Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi(tanah)yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring)ke timur(sebelum direklamasi).Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik.Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug(ditimbun)lagi dengan tanah galian tadi.jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu,berati tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi(jumlahnya kurang)berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Kurang Bagus

Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat),bekas pura(tempat suci),tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria(tempat tinggal pedande/pendeta)dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan(simpang jalan)tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.

Tata Letak Bagunan

Setelah direklamasi (ditata)diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (baratdaya)dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci)atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah,karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.
Bagunan balai Bandung (tempat tidur)diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.

Pintu Masuk

Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur.jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama.Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul - angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan)diatur jambangan air (pot air)yang disi ikan.Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.

Asta Kosala Kosali untuk Rumah Bali

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti
  • Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
  • Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
  • Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang punya rumah. begitu.
Selain itu, konsep ini juga berdasarkan oleh kepercayaan masyarakat Bali akan Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti:

  1. Bhur, alam semesta tempat bersemayamnya para dewa.
  2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme
  3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. dan Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada DSB.
Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. seperti misalnya kasta di masyarakat. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan. nah kalo yang ini biasanya dibangun oleh kasta Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya di Bali, jadi siapapun boleh bikin yang seperti ini. tetapi mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Kasta itu merupakan sistem hirarki, nah kalo di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumah. Dalam pembuatan rumah, rumah akan dibagi:
  • Jaba untuk bagian paling luar bangunan.
  • Jaba Jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah.
  • Jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.
Konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari Nista Madya dan Utama. di bangunan Bali terdapat beberapa konstruksi yang mengacu ke b. kita bahas sekarang ya gimana sih konstruksinya. kita mulai dari Nista.
Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Selain itu juga, ada konsepnya berdasarkan kelipatan tiang atau kolom seperti itu.
Rumah tinggal di Bali itu tidak dijadikan satu, disini dibagi menjadi beberapa ruangan yang dimana bangunannya dipisah. mungkin kalo pemikiran, kalo terjadi bencana seperti kebakaran yang terbakar hanya satu bagian doang, yang lain tidak. trus kalo terjadi gempa, gampang untuk keluar rumah. selain itu halaman juga banyak. coba yuk kita lihat apa saja bagian-bagian rumahnya.

  1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
  2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
  3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
  4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang.
  5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat.
  6. Bale Tiang Sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
  7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota keluarga lain yang masih junior.
  8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya.
  9. Paon(Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
  10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.

Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar

Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.

Proses Membangun Pura

Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud.
Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.
Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis.
Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa magis power yang menjiwai.
Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.

Pekerjaan Konstruksi

Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.
Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.
Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan.

Ngurip Wewangunan

Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai namanya.
Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Klasik, etnik dan unik memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.
Benarkah dengan diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang dibangun dengan sistem tender.
Raibnya bukti pura, ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.

Asta Kosala Kosali dan Pembangunan Pura/Sanggah

Asta Kosala dan Asta Bumi

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

Tujuan Asta Bumi adalah:

  • Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
  • Mendapat vibrasi kesucian
  • Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

Luas halaman:

  1. Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15.
  2. Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13
Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15).
Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).

Hulu - Teben

"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
  1. Arah Timur, dan
  2. Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

Bentuk Halaman

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

Pembagian Halaman

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
  1. Utama Mandala
  2. Madya Mandala
  3. Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih
"Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

Menetapkan Pemedal

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

Jarak Antar Pelinggih

Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

Pelinggih (Stana) yang Dibangun

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Kidung Pitra Yadnya

Nedunang layon pacang nyiramang (Menurunkan Jenazah untuk dimandikan)

Cewana - Girisa
  1. Ata sedengira mantuk sang suralaga ringayun.
    Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka.
    Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa.
    Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.
  2. Lalu laranira nasa sambat putranira pejah.
    Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa.
    Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah.
    Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.

Nyiramang layon - Memandikan Jenazah.

Bala - Ugu
  1. Bala ugu dina melah, manuju tanggal sasih.
    Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas.
    Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis.
    Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.
  2. Ikang layon ginosongan, ne istri tuhu satya, de pamayun matingkah.
    Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan.
    Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal.
    Sumar ganda mrbuk arum.
  3. Pusuh menuhe uttama. Malem sampun macawisan.
    Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur.
    Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu.
    Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.
  4. Buku-buku panyosalasan. Pagamelane salaka.
    Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket.
    Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa.
    Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.

Mamarga ka setra - Pergi ke Kuburan

Indra - Wangsa
  1. Mamwit narendratmaja ring tapowana.
    Manganjali ryagraning indra parwata.
    Tan wis mrti sangka nikang hayun teka.
    Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.
  2. Mangkat dateng toliha rum wulat nira.
    Sinambaying camara sangkaring geger.
    Panawanging mrak panangisnikungalas.
    Erang tininggal masaput-saput hima.
  3. Lunghang lengit lampahira ngawe tana.
    Lawan Sang Erawana bajranaryama.
    Tan warnanen decanikang katungkulan.
    Apan leyep muksa sahinganing mulat.

Ngeseng Sawa - Memperabukan Jenazah.

  1. Sang atapa sakti bhakti, astiti purwa sangkara.
    Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana.
    Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang.
    Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.
  2. Nghulun angadeg ring natar. Kamajaya cintanya.
    Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab.
    Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci.
    Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.
  3. Yan sampun sira araup. Isinikang kundi manik.
    Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah.
    Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta.
    Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.
  4. Wewangen dadi tembaga. Rurube kang dadi emas.
    Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka.
    Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan.
    Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.

Rikala ngayut - Buang abu ke laut.

  1. Ring wetan hana telaga. Rikata hulun adyusa.
    Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
    Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira.
    Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.
  2. Ring kidul hana talaga. Rikata hulun adyusa.
    Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
    Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
    Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
  3. Ring kulon hana talaga. Rikata hulun adyusa.
    Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
    Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
    Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
  4. Ring lor hana talaga. Rikata hulun adyusa.
    Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
    Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
    Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
  5. Ring madya hana talaga. Rikata hulun adyusa.
    Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
    Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
    Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
  6. Sampun ta sira abresih, anambut raja bhusana.
    Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang.
    Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira.
    Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana.

Kidung Menusa Yadnya (Perkawinan)

Kawitan Tantri - Pendahuluan.

  1. Wuwusan Bhupati. Ring Patali nagantun.
    Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu.
    Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.

  2. Tuhu tan keneng api. Pratapa sang prabu Kesyani ruktyeng sadnyari.
    Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari.
    Sri dhara patra sang katong.

  3. Wetning raja wibawa, mas manik penuh.
    Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati,
    Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana.
    Bratang penacasyan.
    Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.

  4. Kadi kreta yuga swapurneng nagantun Kakwehan sang yati.
    Sampun saman jayendrya. Weda Tatwa wit. Katinen de Sri Narendra.
    Nityasa ngruci tutur. Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.


Demung Sawit (bawak, dawa)

  1. Tuhu atut bhiseka Nrapati. Sri Eswaryadala.
    Dala kusuma patra nglung,
    Eswarya raja laksmi.
    Sang kulahamenuhi rajya.
    Kwening bala diwarga.
    Mukya sira.
    Kryana patih Sangniti Bandeswarya patrarum.

  2. Nityasa angulih- ulih amrih sutrepting nagara,
    lan sang paradimantriya.
    Tuhu widagda ngelus bhumi.
    Susandi tinut rasaning aji,
    Kutara manawa.
    Mwang sastra sarodrsti.
    Matangyan tan hanang baya kewuh.

  3. Pirang warsa Sri Nrapati Swaryadala.
    Tusta ngering sana.
    Kaladiwara hayu.
    Sri narapati.
    Lagya gugulingan ring taman.
    Ring yaca ngurddha angunggul.
    Yayamireng tawang.
    Tinum pyata tinukir.
    Kamala kinanda-kada.
    Langu inipacareng santun.

  4. Mangamyat kalangenikang nagara.
    Tisoba awiyar.
    Indra bhuwana nurun,
    Kweh tang pakwana titip.
    Pada kabhi nawa.
    Dening sarwendah linuhung.
    Liwar sukanikang wong.
    Anamtami kapti.
    Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.

Kidung Dewa Yadnya

  1. Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang

    1. Purwakaning angripta rumning wana ukir.
      Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
      Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.

    2. Sukania harja winangun winarne sari.
      Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
      Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng


  2. Pangayat - Menghaturkan sajen
    Kidung Warga Sari

    1. Ida Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane.
      Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
      Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
      Sami sampun puput. Pratingkahing saji.

    2. Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane,
      Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
      Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
      Ancangan sadulur, sami pada ngiring.

    3. Bhatarane saking luhur. Nggagana diambarane.
      Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
      Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
      Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.

  3. Pamuspan - Sembahyang
    Merdu - Komala

    1. Ong sembah ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana.
      Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
      Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
      Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.

    2. Wyapi-wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita.
      Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
      Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
      Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.

    3. Sasi wimbha haneng: ghata mesi banyu.
      Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
      lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
      Ring angambeki yoga kiteng sakala.

    4. Katemun ta mareka sitan katemu.
      Kahidepta mareka si tankahidep.
      Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
      Paramartha Siwatwa nira warana.

  4. Nunas tirtha - Mohon tirtha

    1. Turun tirtha saking luhur. nenyiratang pemangkune.
      Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
      Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
      Sami pada lebur. Malane ring gumi.

Babad

"Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih sireng swagotra kabeh (Ramayana, I.4)."

Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis baru dalam berbagai bidang kehidupan politik, sosial budaya, bahkan moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali. Krisis tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal maupun internal, dan konflik dapat memicu terjadinya disintegrasi.
Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat kaya dengan peninggalan budaya atau warisan budaya masa lampau. Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara berbagai jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, adat istiadat, keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya.
Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan perpanjangan masa lampau, maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada masa kini semestinya dapat dipahami dan dikembangkan dengan memperhatikan latar historisnya (kehidupan masa lampau). Hal ini berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa lampau, misalnya tentang buah pikiran, pandangan, nilai-nilai yang pernah hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu, babad mempunyai peranan penting.
Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah bagaimana cara kita memandang, memahami, dan memerankan babad pada kehidupan ini? Hal inilah menurut hemat saya perlu didiskusikan pada kesempatan ini.

Apa itu Babad

Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah-daerah lain, seperti Sulawesi Utara, babad disebut lontara, di Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra, dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono, 1985).
Ada bermacam-macam pengertian babad. Menurut Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis karya sastra-sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam, anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional sebagai suatu bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat, dimana sifat-sifat dan tingkat kultur mempengaruhi dan bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah. Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks-teks historik atau genealogik yang mengandung unsur-unsur kesastraan. Demikanlah ada bermacam-macam pengertian babad. Akan tetapi, pada prinsipnya babad merupakan teks-teks historis yang dikemas dengan unsur-unsur kesastraan.

Hakikat Babad

Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Maka realitas itu telah menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali, menafsirkan dan membayangkan hal-hal sejarah dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara faktual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta-fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada sehingga cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang latar belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio-budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).

Sifat Babad

Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas, maka babad memiliki sifat-sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa-dewa), hagiografis (mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum alam), simbolis (mengandung lambang- lambang, kata-kata keramat atau bhisama, benda-benda kramat), sugestif (mengandung ramalan, suara gaib, tabir mimpi), istana sentris (berpusat pada kerajaan), pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal (bersifat kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).

Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui simbolisasi dari nilai-nilai atau konsep-konsepsi sosio-religius yang mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad dapat dipandang sebagai konsepsi-konsepsi orang Bali dalam menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai suatu abstraksi tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali. Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan mengingat peristiwa-peristiwa historis dengan segala konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta. Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber-sumber lainnya.
Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu, fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan) asal-usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal-hal lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor-faktor kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan satu sama lain. Unsur-unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.
Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan (sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti ring dewa).
Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan (pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing-masing. Dalam tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran-ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan keturunannya untuk hidup terkotak-kotak, membatasi diri terhadap linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang tersembunyi dalam struktur-struktur pengalaman manusia (leluhur pada masa lalu). Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk pelaksanaan dharma masing-masing (dharma agam dan dharma nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun eksaternal.
Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni yang lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber pada teks-teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi, simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti. 

Babad Pasek

Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.
Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.
Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman-dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.
Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya "Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali".   
Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: "Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan  anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak tahu jalan mana yang harus kami tempuh".
Jawab Hyang Pasupati: "Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang".
Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.
Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya, memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: "Cucuku semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu".
Dalam antara itu diceritakan pula orang-orang yang bertapa di lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji Masula-Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada dewa-dewa dan kawitan-kawitan.
Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi-Widhana pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti dengan maksud menanti orang-orang Bali yang akan pergi ke Besakih. Kemudian datanglah orang-orang Bali berduyun-duyun laki perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: "Hai engkau orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan sangat lengkap?"
Orang-orang Bali menjawab: "Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada Bhatari!" Raja bersabda pula: "O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem? Apa yang engkau minta disana?"
"Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam-tanaman) supaya makmur dan menjadi tanam-tanaman kami dan minta keselamatan diri supaya mandapat umur panjang", demikian jawab orang-orang Bali.
Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik: "Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana, sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji-saji.
Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika itu terjadi pada tahun Caka 896.
Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa, yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai Tukad Petanu.
Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan, karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong, ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji-panjinya (umbul-umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa yang telah meninggal.
Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.
Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: "Cucuku sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran kemoksaan dan ajaran-ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun-turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya, supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga-moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat-tempat pemujaan kepada kawitan-kawitannya (leluhurnya) demikian pula tentang pujawalinya sampai kemudian hari". Demikian sabda Bhatara Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha baiknya.
Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang perahu dari daun kiambang (kapu-kapu), memakai layar daun pangi, pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla) tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).
Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan, pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan tergopoh-gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan sujud menyembah lalu berkata.
"Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam Parhyangan". Mpu Genijaya mengangguk mengiakan seraya berkata "Marilah kita bersama –sama", demikian katanya lalu tangannya dituntun oleh adiknya menuju Parhyangan. Setelah sampai dalam parhyangan lalu masing-masing duduk di tempat yang telah tersedia. Selama dalam parhyangan pendeta berkakak adik itu tiada putus-putusnya bercakap-cakap memperbincangkan ajaran agama dan filsafat mengenai Ketuhanan.
Setelah beberapa hari lamanya di Cilayukti, besok paginya pergilah Mpu Genijaya diiringi adiknya Mpu Kuturan menuju ke Dasar. Demi terlihat
oleh Mpu Gana bahwa kakaknya datang, maka dengan tergopoh-gopoh menyongsong seraya menyembah, katanya: "Silahkan paduka kakak pendeta masuk bersama adik Mpu Kuturan".
Dengan bertuntunan tangan bertiga pendeta berkakak beradik itu masuk dalam parhyangan.
"Silahkan kakak pendeta duduk-duduk katanya Mpu Gana. Marilah adikku berdua, bersama-sama duduk dengan kakak"!
Setelah sama-sama duduk di tempatnya masing-masing dalam parhyangan, maka mulailah pembicaraan yang mengenai ajaran kebatinan, sampai kepada ajaran kemoksaan. Memang demikian seharusnya bagi orang - orang yang telah menduduki derajat Pendeta.
Besoknya pagi-pagi Mpu Genijaya pergi ke Besakih diiringi oleh dua orang adiknya Mpu Gana dan Mpu Kuturan. Setelah tiba, mereka langsung menuju parhyangan tempatnya Mpu Semeru, bahwa kakaknya datang disertai oleh dua orang adiknya, maka sangatlah gembira hatinya seakan-akan mendapat percikan tirtha amertha seraya bersujud mencakupkan tangan menyembah disertai dengan ucapan weda jaya-jaya "selamat datang". Demikian pula kakaknya membalas dengan weda jaya-jaya, selamat, suara genta seakan-akan kumbang mencari madu bunga. Setelah itu maka Mpu Semeru berkata: "Kakak Pendeta silahkan duduk bersama-sama adik berdua". Marilah sama- sama kita duduk adik-adik sekalian, kakak mengijinkan "Jawab Mpu Genijaya". Setelah sama-sama duduk Pendeta empat itu, maka Mpu Semeru bertanya:"Kapankah kakak pendeta turun ke Bali? Siapa yang mengiring"?
"Kakak sendiri saja tidak ada pengiring, turun di Cilayukti lebih dulu, kemudian ke Dasar, akhirnya datang kemari". Selanjutnya terus mareka bercakap-cakap tentang hal ilmu bathin, filsafat ke-Tuhanan, Reg dan Yajur Weda, sampai juga kepada satuan-satuan huruf suci (Wijaksara).
Kemudian daripada itu tibalah hari Purnama Kapat, yaitu patirthan Bhatara Putrajaya, lalu pendeta empat itu menghaturkan puja wali. Tidak diceritakan betapa ramainya suasana yajna itu dan sekalian orang sama girang menghaturkan sembah.  
Setelah beberapa tahun antaranya, diceritakan kembali halnya Mpu Ketek telah beristri seorang wanita anak dari Arya Padang Subadera. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sanghyang Pamanea. Sedang Mpu Kananda beristri dari anaknya Mpu Swetawijaya, telah juga berputra bernama Sang Kuladewa. Dan Mpu Wiranjana beristri dari anak Mpu Wiranatha. Mpu Witadharma istrinya adalah anak Mpu Darmaja yaitu cucu dari Mpu Yogiswara, berputra bernama Mpu Wiradharma.
Mpu Ragarunting beristri anaknya Mpu Wiratanakung, putranya Mpu Wirarunting. Mpu Prateka mengambil istri anaknya Mpu Pasuruan bernama bang Senetan lalu berputra bernama Hyadnya. Mpu Dangka beristri, anaknya Mpu Semedang. Dari pada itu lahir seorang putranya bernama Mpu Wiradangka, memper seperti nama ayahnya dan memper pula tinggi bathinnya.
Sekianlah jumlah anak dari tujuh bersaudara itu tersebut dalam kitab. Diceritakan pula anaknya Mpu Bradah dua orang laki-laki. Yang pertama bernama Mpu Ciwagandu mengambil istri anaknya Mpu Wiraraga, lalu berputra lima orang, wanita empat, laki seorang, semua elok rupanya, namanya masing-masing ialah: Yang laki bernama Mpu Wiranaga, yang perempuan bernama Ni Dewi Ratna Semeru, Ni Dewi Girinatha, Ni Dewi Patni, Ni Dewi Sukerti.
Anaknya yang kedua bernama Mpu Bahula beristri anak janda raja Jirah bernama Ni Dewi Ratnamanggali. Dari perkawinan ini berputra lima orang, empat orang perempuan dan seorang laki-laki. Namanya masing-masing yang laki-laki bernama Mpu Wiranatha, yang perempuan bernama: Ni Dewi Dwaranika, Ni Dewi Adnyani, Ni Dewi Amrtajiwa, Ni Dewi Amrtamangguli. Itulah semua keturunan Brahmana, tingkah laku dan bathinnya sesuai dengan kawitannya. Apabila salah seorang dari keturunannya itu melanggar nasehat Bhatara Kawitan, maka ia akan kena kutuk tidak dapat berlaku dalam jalan yang benar (mungpang selaku lampah) dan lagi selalu menurun derajatnya menjadi orang hina.__
Diceritakan Sang Mpu Bradah turun ke Bali dengan maksud akan datang menghadap kakaknya di Cilayukti, berhasrat hendak mengetahui bukti-bukti kakuasaan bathin kakaknya. Tidak direntang panjang betapa halnya dalam perjalanan, dikisahkan telah tiba di Cilayukti dengan berperahu kayu pelud yang hanya segenggam panjangnya. Mpu Kuturan seraya katanya: "Adikku selamat datang, silahkan duduk".
"Ya paduka kakak pendeta, maksud saya datang menghadap ini adalah ingin mengetahui kekuasaan bathin paduka kakak paduka, jika boleh harap diperlihatkan kepada saya. Jawab Mpu Kuturan: "Jika demikian maksud adik baiklah kakak penuhi hasrat adik. Itu di sana ada seekor ayam baru bertelur tiga butir".
"Terimakasih jika demikian kata Mpu Bradah". Lalu Mpu Kuturan mengeluarkan kekuasaan bhatin hatinya, yaitu ditarik dengan kekuatan bathin telur itu, maka dengan seketika itu tiga butir telur itu datang dengan sendirinya kehadapan Sang Maharani. Oleh karena itu Mpu Kuturan tiga butir telur itu ditaruh bertumpuk tiga, lalu bertanya: "Adikku, coba terka apakah nanti lahir dari masing-masing telur ini?
"Baiklah", jawab adiknya, seraya menenangkan bathinnya untuk mempersatukan ketajaman pandangan jiwanya ke dalam telur itu. Tiada lama antaranya Mpu Bradah berkata: "Kakak Pendeta, telur yang tempatnya teratas saya dengar suaranya menyerupai angsa, kiranya angsalah yang lahir dari padanya".
Jawab kakaknya: "Tidak, naga keluar dari dalamnya". Tiada lama antaranya, telur yang dibicarakan tadi pecah, lalu keluar anak angsa dari dalamnya.
Mpu Kuturan berkata pula: "Adik, coba terka telur yang ditengah ini; apa nanti lahir dari dalamnya"?
"Baiklah kakak pendeta", jawab Mpu Bradah. Sebaiknya saya menerka telur terbawah lebih dulu. Gagak putih akan keluar dari dalamnya. Tiba-tiba telur tadi pecah, keluar seekor Gagak putih dari dalamnya, sekejap mata itu telah mulai belajar terbang di udara.
Kata Mpu Kuturan pula: "Adik, kini masih sebutir, coba terka lagi!"
Jawab adiknya: "Ya kakak pendeta, telur ini akan melahirkan dua ekor naga".
Sekejap itu telur yang ketiga (di tengah) itu pecah keluar dua ekor naga yang buas, mulutnya menganga hebat dahsyat, taringnya tampak tajam-tajam, culanya berapi-api mengkilat-kilat lalu terbang ke udara turun di Besakih. Demikian ceritanya.
Setelah selesai peristiwa yang mentakjubkan itu, lalu Mpu Bradah bersemadi sejenak mencipta dengan kekuatan ilmu aji Basundari dan ketajaman pemandangan, kelihatan olehnya butir telur mengambang di tengah lautan sebelah timur Gunung Cilayukti. Apabila tidak keberatan, coba persatukan pandangan bathin, apa gerangan lahir dari padanya nanti.
"Baiklah kanda coba permintaan adinda" Jawab Mpu Kuturan seraya mengumpulkan dan semusatkan bathinnya dengan ilmu aji Antasiksa guhjawijaya, akan keluar dari dalamnya pancawarna".
Mpu Bradah berkata: "Tidak". Tiba-tiba pecah telur itu, keluarlah dari dalamnya hujan bunga panca warna harum semerbak memenuhi udara. Mpu Bradah berkata pula: "Wah benar kakak, coba yang lainnya diterka lagi!". "Adikku jawab Mpu Kuturan, telur yang di tengah air tirtha Kamandalu asinya". Tiba-tiba pecah telur yang ditengah itu. Seketika itu bergelora samudra itu, karena kaluarnya air tirtha Kamandalu bertempatkan kendi manik. Mpu Bradah berkata pula: "Kakak pendeta telur yang masih sebutir lagi yang tempatnya terbawah, apa gerangan keluar dari dalamnya, cobalah diterka baik-baik!" Mpu Kuturan menjawab: "Adikku, telur yang terbawah itu Badawangnala lahir dari padanya". Baru pecah telur itu, memang benar lahir seekor Badawangwala dari dalamnya bersayap gerinsing wayang, berbulu piteala sutra yang sangat mentakjubkan. Ketika itu timbul benci hatinya Mpu Bradah, lalu mengucapkan kutuk katanya.     
"Hai kamu Bedawangnala! Karena engkau ia jatuh ke Bumi, dari sejak ini sampai kemudian tidak boleh engkau bertelur dalam lautan moga-moga engkau dimakan ikan besar, salahmu durhaka kepadaku". Demikianlah sabda Mpu Bradah sangat manjurnya. Itulah sebabnya bangsa penyu bertelur di daratan pantai laut dan banyak makhluk lahir dari padanya misalnya menjadi ular, penyu, empas, dan kura-kura. Beberapa hari antaranya, tibalah hari Kamis Wage dan Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu Sugihan Jawa dan Bali, maka beliau itu turut melakukan hari sugihan manik itu. Ketika itu pertama kali dirayakan hari Sugihan Jawa dan Bali. Yang disebut Sugihan Manik atau Ulihan Jawa, hari Kamis Wage, sedangkan Sugihan atau Ulihan Bali, hari Jumat Keliwon Sungsang.
Tiada diceritakan betapa kehidupan selanjutnya, pada suatu hari pulang Mpu Bradah itu ke Jawa, setelah mohon diri kepada kakaknya Mpu Kuturan. Setelah meninggalkan padang lalu pergi ke Gelgel menju Dasarbhuwana. Tidak disebutkan apa pembicaraannya di Gelgel, setelah mohon diri daripada kakaknya disana lalu pergi ke Besakih, kemudian dari Besakih menuju Gunung Lempuyang. Setelah selesai mohon diri kepada kedua kakaknya ini, maka Mpu Bradah melanjutkan perjalannya ke Jawa berparhyangan di Pejarakan.  
Tidak diceritakan betapa halnya Mpu Kuturan mengatur kesejahteraan masyarakat. Lama kelamaan maka pulanglah Sang Pancatirtha itu ke Suksmataya (ke alam baka), merupakan dhat Tuhan atau roh suci. Yang disebut Panca Tirtha itu ialah: Mpu Genijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Kini diceritakanlah lebih lanjut, anak cucu dan turun-turunan dari Sang Panca Tirtha itu semua, sangat astiti dan bakti terhadap Tuhan, terutama terhadap leluhurnya yang telah merupakan Dewata. Pada suatu ketika pada saat akan datangnya hari Purnama Kapat yaitu pujawali Bhatara-Bhatari di Besakih maka bermusyawarahlah Sang Sapta Pandita disertai oleh anak-anaknya sekalian, terutama Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Wira Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Dan Mpu Dangka.
Mpu Ketek berkata: "Adik-adikku dan putra-putraku sekalian, oleh karena Abra Sinuhun (Kawitan) kita telah pulang ke alam baka, serta mengingat nasehat-nasehat beliau dulu, apabila hari Purnama Kapat harus ada pujawali di Besakih. Kini hari yang penting itu akan tiba maksudnya kita harus berkemas akan pergi ke Bali menghadap Bhatara dan menghaturkan Pujawali dan Widhi-Widhana". Jawa adik-adiknya sekalian: "Jika demikian, kami sangat setuju pendapat paduka kakak, marilah berkemas berangkat".
Kemudian daripada itu datanglah hari Kemis Wage Sungsang, lalu para Mpu sekalian ke Besakih untuk melakukan Sugimanik di sana dahulu. Setelah selesai di sana dilanjutkan ke Lempuyang, dari Lempuyang ke Dasar dan terakhir di Cilayukti.
Setelah selesai tugas persembahan sekalian para Mpu itu maka mohon dirilah mereka pergi sekalian kembali ke Jawa. Selanjutnya tiap-tiap tahun (ngatewag) para Mpu itu pergi ke Bali menghaturkan pujawali kepada Bhatara-Bhatara (di sebelah Tuhan Yang Maha Esa terhadap roh-roh suci leluhurnya).
Setelah beberapa tahun lamanya, diceritakan bahwa Mpu Ketek telah mempunyai seorang anak dewasa bernama Sanghyang Pamanca mengambil istri seorang Mpu Ciwangandu yang bernama Ni Dewi Daranika termasuk sepupu tingkat kedua (mindon).
Adapun anaknya Mpu Kananda bernama Mpu Swetawijaya beristrikan anaknya Ni Dewi Dwaranika bernama Ni Dewi Adnyani.
Anaknya Mpu Wirajaya bernama Mpu Wiranata beristrikan anaknya Mpu Bahula bernama Ni Ratna Dewi Sumanggali.
Anaknya Mpu Wiradharma bernama Mpu Wiradarma mengambil seorang istri anaknya Mpu Bahula juga yang bernama Ni Dewi Girinatha.
Anaknya Mpu Ragarunting bernama Mpu Paramadaksa beristri kepada anaknya Mpu Ciwagandu bernama Ni Dewi Amrthajiwa. Dan anaknya Mpu Prateka bernama Mpu Pretekayadnya beristri anaknya Mpu Bahula bernama Ni Dewi Sumanggali.
Demikian pula anaknya Mpu Dangka bernama Mpu Wiradangka pun telah beristri anaknya Ciwagandu juga bernama Ni Dewi Sukerti.
Demikian masing-masing para putra Mpu itu telah sama beristri mengambil dari sepupu dan dua pupu (misan dan mindon), semuanya ahli dengan ajaran agama sama halnya dengan ayahnya masing-masing.
Kemudian Mpu Wiradharma berputra Mpu Lempita namanya mengambil istri anaknya Sang Hyang Pamanca bernama Ni Ayu Subrata, kemudian berputra seorang bernama Mpu Jiwaksara.
Dan seorang yang bernama Ni Ayu Sadra adik dari Ni Ayu Subrata dipakai istri Sang Kulpetak melahirkan seorang putra bernama Danghyang Sang Kulputih. Mpu Wiranatha berputra tiga orang, seorang laki-laki bernama Mpu Purwanatha dan dua orang wanita bernama Ni Ayu Wetan dan Ni Ayu Tirtha. Ni Ayu Wetan diperistrikan oleh anaknya Mpu Pradaksa yang bernama Mpu Wirarunting, lalu berputra dua orang laki perempuan. Yang laki-laki bernama Mpu Wira Ragarunting.
Anak Mpu Prateka Adnyana bernama Sang Prateka. Anak Mpu Dangka tiga orang, seorang laki bernama Sang Iradangka, dua orang wanita bernama Ni Ayu Dangka dan Ni Ayu Dangki.
Demikianlah keadaanya anak-anaknya para Mpu waktu di Daha Jawa, semuanya taat melakukan dharma kepanditaan.
Sampai disini kembali lagi diceritakan, bahwa dahulu ketika para Mpu pergi dari negara Daha, diusir oleh Shri Dangdang Gendis yaitu Mpu Pamanca, Mpu Swetawijaya, Mpu Wiranatha, Mpu Wiradharma, Mpu Paramadaksa, Mpu Pratekayadnya, Mpu Wiradangka, semua itu dulu pergi dari Daha disertai oleh anak cucunya berasrama di Tumapel.
Diceritakan pula dahulu anaknya Mpu Pamacekan anaknya Sang Kulpotak, anaknya Mpu Purwanatha, anaknya Mpu Wiradarma, anaknya Mpu Wirarunting, anaknya Mpu Prateka, anaknya Mpu Wiradangka, semuanya itu pergi dari Tumagel, lalu pergi menuju Negara Majapahit, di sanalah mereka berasrama ketika Raja Shri Aji Harsawijaya, ketika itu mulai adanya tujuh bersaudara itu (sanak pitu).
Yang disebut sanak pitu itu adalah: Mpu Pamacekan berputra dua orang laki perempuan yang bernama Arya Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Ayu Ler, dipakai istri oleh putranya (cucunya) Mpu Wiradharma, bernama Mpu Wijaksana. Dan anaknya Sang Kulputih, dua orang laki perempuan yang laki bernama Wira Sang Kulputih , yang perempuan bernama Ni Ayu Swani. Adapun anaknya Mpu Purwanatha dua orang laki –laki perempuan bernama Ken Dedes, yang laki-laki bernama Mpu Purwa. Dahulu waktu di Tumapel Mpu Purwa beristri anak Aji Tatar berputra dua orang perempuan yang bernama Ni Swaranika diperstrikan oleh cucunya Mpu Dwijaksana. Adapun Arya Tatar beristrikan anaknya sang Kultul Putih yang bernama Swani.
Adapun anaknya Mpu Ragarunting, anaknya perempuan bernama Ni Wirarunting diperistrikan oleh anaknya Mpu Pratekayadnya yang bernama Mpu Prateka. Dua orang adiknya lagi perempuan bernama Ni kamareka, diperistri oleh anaknya Mpu Wiradangka yang bernama Sang Wira dangka yang bernama Ni Kamawaka. Sedang Ni Swarareka diperistri oleh Arya Kepasekan dan adiknya Wira Kadangkan bernama Ni Swari Dangka. Demikianlah keadaanya di Majapahit, diceritakan setelah wafatnya Shri Aji Bedamuka karena daya upayanya Krian Gajah mada, demikian pula mahapatihnya Krian Pasung Grigis telah dipenjarakan di Desa Tengkulak. Dan setelah meninggalnya Krian Patih Kebo Mayura, sangat sunyi sepi negara Bali, pelaksanaan adat agama sudah lenyap, disebabkan karena tidak ada brahmana diam di Pulau Bali.
Pada waktu menjelang sasih: 6,7,8,9, dan 10 Krian Patih Gajah Mada mengaturi Mpu Dwijaksara supaya turun ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban terhadap puja wali Bhatara di Besakih, di Gelgel, di Cilayukti, di Lempuyang, dengan tujuan supaya Pulau Bali mendapat keselamatan dan supaya menjadi Bhagawan Tanya Dalem yang memerintahkan pulau Bali seluruhnya. Demikian permintaan Krian Gajah Mada, sebab itu Mpu Dwijaksara turun ke Bali disertai oleh anak istri dan putranya semua.
Tidak dibicarakan lebih lanjut, pada suatu hari telah tiba di Pura Besakih. Dengan segera memerintahkan orang-orang Bali yang berdiam di sebelah menyebelah parhyangan supaya segera memperbaiki bangunan-bangunan yang ada di dalam parhyangan terutama di Besakih. Orang-orang Bali semua dengan girang memperbaiki masing-masing terutama di Sad Kahyangan masing-masing. Apabila Kajeng Keliwon: 6, 7, macaru ayam pancawarna, itik belang kalung.
Pada sasih 8, caru sanak, ayam manca warna, anjing bang bungkem, itik belang kalung, angsa, kambing, kerbau hitam Sasih 9 ditambah kerbau brakawos, kucit butuh pitu, dinamai tabuh gentuh. Di Besakih mancawalikrama. Sasih 4 anyiabrahma, setelah itu turun Bhatara Kabeh.
Demikian nasehatnya, maka semua orang-orang Bali menghaturkan wali di parhyangan, demikian juga di Besakih, di lempuyang, di Batukaru, di Beratan, di Pejeng, di Andakasa di Gelgel, dan di Cilayukti, mengingat kebijaksanaan jalannya yang ulu dulu. Adapun Dwijaksara berasrama di Gelgel membuatTaman Darmada, harumnya memenuhi taman itu,
 karena kebetulan pertengahan masa kapat, kumbang berdengungan suaranya mengisap bunga.
Diceritakan lebih lanjut tentang hal kembalinya para utusan dari Jawa telah tiba di Gelgel. Setibanya di Bali segera mengatur pemerintahan dan menjaga tata tertib susila di seluruh Bali serta mengatur jalannya adat agama mengadakan pura-pura desa balai Agung di seluruh desa di Bali. Demikian pula yang dijaganya parhyangan di Besakih dan sekitarnya gunung Agung, dan pura-pura lainnya di Gelgel, Lempuyang, Cilayukti, Watukaru, Bratan, Andakasa, Pejeng, dan lainnya.             
        Diatur dan diselenggarakan sesuai dengan yang berlaku dahulu-dahulu, sebagai halnya para leluhur yang telah ke alam baka dulu. Demikian halnya Krian Patih Ulung bersama saudara-saudaranya mengatur pemerintahan. Diceritakan Ki Patih Ulung telah mengambil seorang istri yaitu cucunya Sang Mpu Prateka.
Dari perkawinan ini menghasilkan seorang anak laki-laki bernama Kyai Smaranatha beristrikan cucunya Mpu Wiradangka bernama Rudani, melahirkan seorang anak laki-laki bernama I Rare Angon.
Sementara itu Kyai Bendesa mengambil seorang istri ke desa Manikhyang lalu berputra dua orang laki-perempuan. Yang laki-laki bernama I Bendesa Manikan, yang perempuan bernama Ni Luh Manikan diperistri oleh Kyai Rare Angon ada seorang putranya bernama I Pasek Gelgel. Demikian riwayatnya dahulu keadaan para Mpu tujuh bersaudara itu. Lambat laun turun-turunannya tidak taat kepada Dharmanya, sehingga menurun derajatnya, ada pula yang menjadi orang tani. Disebutkan pula anaknya Mpu Ketek bernama Arya Kepasekan. Anaknya ini beranak pula 2 orang laki perempuan, yang laki bernama Kyai Agung Pamacekan, yang perempuan bernama Ni Luh Pasek. Anak itu diperistrikan oleh Gusti Pasek Agung Subadra berputra 2 orang laki-laki bernama I Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar.
Lain lagi anaknya Kyai Gusti Agung Kapasekan bernama Sang Kulputih saudara dari mangku Sang Kulputih, adalah seorang anaknya bernama Kyai Gusti Agung Subadra. Kyai Gusti Agung Subadra berputra 2 orang laki-laki bernama Kyai Tohjiwa dan Kyai Agung Pasek Subadra. Dan putranya Mpu Kananda dulu yang bernama Mpu Swetawijaya, Sang Kuladewa Wara Sang Kulputih, Sang Kulputih ada dua orang anaknya laki perempuan, yang laki bernama Dukuh Sorga, bertempat tinggal di desa Sorga sama –sama taat beryoga semadi di Besakih. Sekalian turunan Dukuh Sorga ini menjadi Mangku Sang Kulputih. Dan pula anaknya Mpu Wiradnyana bernama Mpu Wiranatha telah bernama Mpu Purwanatha, Mpu ini berputra bernama Arya Tatar. Ki Arya tatar ini berputra Kyai Gusti Pasek Lurah Tatar, anaknya bernama De Pasek Tatar. Apa sebabnya demikian, karena lahirnya dahulu dari seorang perempuan dari Shri Aji Tatar.
Adapun anak turunannya Mpu Withadarma tiga orang bernama: Mpu Lempita, Mpu Panandha, dan Mpu Pastika.
Dua orang Mpu ini yaitu Pananda dan Mpu Pastika berasrama di Cilayukti melakukan yoga sangat taat dan melakukan dharma Sukla Brahmacari meniru halnya Mpu Kuturan yaitu terhitung Kempiang dari saudara. Adapun Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara beristrikan anaknya Arya Tatar lalu bernama Patih Ulung. Patih Ulung ini dijadikan Patih oleh Raja Bali yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem Masula-Masuli dulu.
Ada diceritakan lagi seorang anak perempuan dari Pangeran Tangkas sedang remaja putri, diambil istri oleh Kyai Pasek Agung Gelgel yaitu saudara sepupu olehnya. I Gusti Tangkas Kuri Agung merasa akan diri keputungan (keputusan warisan turunan), maka ia beramanat kepada I Gusti Agung Pasek Gelgel katanya: "Hai anakku Gusti Agung Pasek Gelgel, karena engkau suka kepadaku, kini bapa menyerahkan diri kepadamu, oleh karena bapa tidak akan mempunyai keturunan lagi (tidak beranak laki- laki). Kini ada seorang anakku perempuan saudara sepupu olehmu, apabila kamu suka, bapa akan berikan kepadamu Gusti Agung.
Dan lagi ada harta benda bapa yaitu isi rumah tangga serba sedikit serta pelayanan 200 orang, semuanya itu anakku mengusahakan. Pendeknya engkau manjadi anak angkatku. Kemudian apabila bapa pulang ke alam baka supaya anakku menyelesaikan upacara jenazahku. Yang penting permintaanku adalah agar sama olehmu melakukan upacara sebagai bapa kandungmu sendiri. Dan peringatanku kepadamu, oleh karena dahulu ada permintaannya Pangeran Mas kepada leluhur kita, yaitu supaya jangan putus turun-turunan kita dengan sebutan Bandesa. Sebabnya ialah supaya mudah oleh beliau kelak mengingati turunan - turunan beliau bila ada lahir dari beliau.
Kini oleh karena bapa memang berasal dari sana, sebab itu bapa minta kepadamu, bila kemudian ada anugerah Tuhan kepadamu terutama kepada bapa, ada anakku lahir dari sepupumu Ni Luh Tangkas, supaya ada juga yang memakai sebutan Bandesa Tangkas itu sampai kemudian, supaya mudah leluhur kita mengingati turun-turunannya nanti di Sorga.
Demikian kata Gusti Tangkas Kori Agung kepada Gusti Pasek Gelgel. Ketika itu I Gusti Pasek Gelgel belum berani memutuskan sendiri dan menurut permintaan itu, lalu minta timbangan suadara-saudara sepupu dan mindonnya. Akhirnya disetujui oleh sekalian saudara-saudaranya, maka ketika itu barulah I Gusti Pasek Gelgel menurut katanya Gusti Tangkas Kori Agung.
Diceritakan I Gusti Agung Pasek Gelgel kawin dengan Ni Luh Tangkas dengan upacara yang besar dan meriah. Kecuali dari sanak saudaranya tamu undangan lainnya sangat banyak datang yang turut memeriahkan perkawinan itu.
Lambat laun cucu Kyai Pasek Agung Gelgel makin mengembang banyak, selalu menjadi tangan kaki Dalem, pengatur balai Agung di pelosok desa di Bali.
Diceritakan pula De Gurun Pasek Gelgel ada dua anaknya, yang sulung bernama De Gurun Pasek Gelgel menjadi kepala pengatur Bale Agung di Desa Gelgel, adiknya bernama De Pasek Togog menjadi pengatur di Besakih berumah di desa Muntig, ahli dalam hal Rajapurana, ahli kependetaan dan segala pengetahuannya terutama upacara jenazah serta adat penyelesaiannya, sampai kepada kemoksaan dan kajang rwabhineda. Kemudian ada tiga orang anaknya laki-laki yang sulung bernama I Dukuh Ambengan, adiknya De Dukuh Sabudi yang bungsu Dukuh Bunga. Adapun De Dukuh Ambengan kemudian bernama De Dukuh Badeg, lalu beranak bernama De Dukuh Prawangsa, semua mengembangkan turunan, semua itu berasal dari satu kawitan.
Lain lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari Luh Tangkas Kori Agung berputra empat orang laki-laki, yang sulung bernama I Tangkas Kori Agung, adiknya I Bendesa Tangkas, I Nyoman Pasek Tangkas, dan Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung.
Adapun menjadi patindih sebagai Bendesa yang dikirim oleh Dalem ke desa-desa yaitu: I Bendesa Muncan membukti sawah winih 50, I Bendesa Selat Duta mabukti winih 50, Bendesa Sebetan mabukti winih 50, I Bendesa Bugbug mabukti rakyat di Bugbug, I Bendesa Sangkiding mabukti winih 50, I Bendesa Sabegan mabukti winih 50, I Bendesa Timbrah mabukti winih 50, yang bernama Atakapi. Dan I Bendesa Babi mabukti winih 50, I Bendesa Tumbu mabukti winih 50, adapun I Bendesa Manikan mabukti winih 100, I Bendesa Ujung mabukti winih 50.
Adapun I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu di Bale Agung yaitu: I Pasek Budaga, De Pasek Sangkan Buana, De Pasek Manduang, De Pasek Ahan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek Bebetin, dan De Pasek Depaa.
I Pasek Akah beranak tiga orang laki-laki bernama: I Wayan Pasek Akah, I Pasek Tabola, I Pasek Wangsian. Adapun De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek Batudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Narga, De Pasek Kekeran, semuanya itu turunan De Pasek Gelgel.
Dan De Pasek Tohjiwa turunannya yang menjadi penjaga bumi Tohjiwa, anak-anaknya juga banyak, semuanya menjadi penyelenggara Bale Agung di desa-desa seluruh Bali.
Yang Tertua bernama Ki Paseki Tohjiwa, sebagai nama bapanya, adiknya bernama De Pasek Tanggun Titi, De Panatahan, De Pasek Antasari, De Pasek Galih Ukir, De Pasek Alanglinggah, De Pasek ring Basang, De Pasek Beda, De Pasek Wanagiri, De Pasek Pejaan, De Pasek Pupuan, De Pasek Sanda, sekian jumlah turunan Kyai Pasek Tohjiwa.
Adapun turunan Kyai Agung Pasek Subadra, diminta keluar dari Gelgel menuju Bale Agung di seluruh Bali. Anaknya tertua bernama Pasek Padang Subadra, beruma di Padang, menyelenggaraan Pura Cilayukti, De Pasek Suladri menjadi Dukuh di Suladri, beryoga di Pura Dalem menjadi Pamangku, sebab itu bernama Dukuh Suladri. Semenjak itu bernama Dalem Suladri.
Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Bale Agung Bangli, De Pasek Dukuh Pahang, De Pasek Paguyangan, De Pasek Cemangi Munggu, dan De Pasek di Munggu, De Pasek Titigatung, De Juntal. Demikian banyak turunan Kyai Pasek Agung Padang Subadra. Banyak turunannya bercabang ranting.
Adapun turunan De Pasek Tatar, yang sulung bernama Ki Pasek Tatar, adik-adiknya Ki Pasek Panataran di Desa Telengan, De Pasek Mangku Bale Agung Bukit Cemeng, De Pasek Bale Agung, De Pasek Pidpid. Sekian turunan De Pasek Tatar sama-sama mengembangkan turunannya.
Dan turunannya De Pasek Prateka yaitu De Pasek Dukuh Gamengan, De Pasek Dukuh Bilatung, De Pasek prateka ring Akah, De Pasek ring Nongan, De Pasek Rendag, De Pasek Kusaban.
Sekian mulanya turunan I Gusti Pasek Prateka makin berkembang.
Dahulu ada diceritakan Danghyang Nirartha, pergi dari Daha menuju Majapahit menuju Danghyang panataran, di sana berputra dua orang laki- laki. Kemudian pergi ke Pasuruhan di tempat Dnaghyang Parawasikan, berputra dua orang laki- laki, akhirnya beliau ke Brambangan Keniten semuanya, diterima oleh Dalem juru di Brambangan baik-baik. Tetapi lama kelamaan adalah timbul pertikaian-pertikaian, sebab disangka permaisurinya Keniten menaruh cinta kepada Danghyang Nirartha, dituduh memasang guna-guna, sebab itu harum bau keringatnya.
Adapun Dalem juru ada agak kurang beres ingatannya, disuruh istrinya mengarangkan hal dirinya sebab itu ada termasuk dalam nyanyian (poezi) "Siapakah yang akan mengobati birahiku tidak lain permaisuri Kaniten yang seakan-akan Saraswati".
Danghyang Nirartha pergi dari Brambangan menuju Pulau Bali, mengendarai Waluhkele, tangan dan kakinya digunakan dayung dan kemudian sedang istrinya dan tujuh putrinya dibuat dengan jukung bocor.
Tidak diceritakan betapa halnya dalam pelayaran, pada suatu saat turun Danghyang Nirartha di Kapurancak yaitu di Pantai Pulau Bali. Demikian diceritakan tak dapat taida Dalem Juru akan memenuhi kehancuran sebab seakan-akan telah kena bajra-wisa dan Dalem Baturenggong seakan-akan Parupati.
Setelah Danghyang Nirartha turun di Kapurancak lalu meneruskan perjalanannya ke daratan, diiringi oleh istri dan tujuh orang anaknya.
Di tengah jalan berjumpa dengan seorang gembala, karena ditanya ditanya pendeta, menunjuk arah ke Timur. Dalam perjalanan menempuh hutan itu tiba-tiba bertemu dengan seekor kera besar menghalangi menghadang di tengah jalan kecil itu. Pendeta berkata: "Hai kera besar berikanlah kami jalan." Lalu kera itupun menghindarkan diri, maka pendeta beserta rombongannya melanjutkan perjalannya.
Tiba-tiba bertemu pula dengan seekor naga besar menghadang di perjalanan, mulutnya menganga setinggi orang berdiri. Pendeta lalu masuk ke mulut naga itu sampai ke dalam perutnya maka dijumpainya sekuntum bunga tunjung lalu dicabutnya. Kemudian keluarlah beliau dengan wajah muka yang hitam warnanya. Dengan hal yang demikian larilah anak istrinya kemudian warna muka pendeta itu berubah menjadi warna emas, maka dikumpulkanlah pula anak istrinya, tetapi sayang seorang anaknya hilang. Putrinya yang hilang itu bernama Ida Ayu Swabawa, tidak lagi merupakan manusia. Ia itu merupakan orang halus yang luput dari umur tua dan mati. Beliaulah dianggap Dalem Melanting di Pulaki. Demikian diceritakan.
Sementara itu Sang Rsi Nirartha sampai di Desa Gadingwani, dan kebetulan waktu itu orang-orang desa Gadingwani diserang penyakit, maka diobati oleh Sang Pendeta dengan sepahnya (adem, susur, bhas, Bali) maka sembuh semuanya. Dengan demikian tahulah Kepala Desa (Bendesa) Gadingwani, bahwa Danghyang Nirartha itu adalah seorang pendeta yang sakti lalu ia menghadap dengan sembahnya serta memohon agar diberi tirtha pembersihan dirinya (diniksan).
Demikianlah tersebar pula kabar yang menyenangkan ini di seluruh Desa Mas. Maka Pangeran menghadap kepada pendeta, dengan sangat hormat memohon supaya memberi ajaran agama kepadanya seraya memberikan tirtha pembersihan (inangshara). Demikianlah riwayatnya.
Ni Ayu Swabhawa yang berbadan gaib di Pulaki, ketika itu ayahnya pergi ke Gelgel akan memberi tirtha pembersihan (ndisain) Dalem Baturenggong, bermalam di Jembrana di Banjarwani Tengah dulu, di rumah De Bendesa Mas karena sangat lama Ni Ayu ditinggalkan oleh ayahnya sangat panas hatinya, lalu beliau mengutuk desa disana yaitu disebelah Utara Rambut Siwi, orang desa di sana sebanyak 800 perinduhan agar terbakar seluruhnya beserta penghuninya. Ki Bendesa minta dengan hormat supaya jangan terus mengutuk desa itu, sementara menanti pendeta dari Gelgel. Tetapi Ni Ayu Swabhawa tidak meluluskan. Hanya ada pemberiannya yaitu santra utama yang dapat dilakukan dalam hidup dan mati bernama Canting Mas dan Siwer Mas, Weda Sulambang Geni, Pasupati rencana. Semua itu boleh dipakai oleh Bedesa Mas dan turun- turunannya selama hidup dalam Pulau Bali.
Kutuk Ni Ayu Makbul. Sebab itu beliau didudukan sebagai Bhatari di Pura Pulaki dijaga oleh orang-orang yang tidak kelihatan yang disebut Sumedang.
Sementara itu ada diceritakan lain, yaitu Danghyang Sidhimantra berputra seorang laki –laki yang tabiatnya suka benar berjudi kesana kemari, terkenal dengan namanya Ida Manik Angkeran. Dahulu semasa beliau masih di Pulau Jawa kalah dalam perjudian, sangat duka cita, lalu dicuri genta bajra pendeta (ayahnya) yang bernama: I Brahmana, segera pergi ke Pulau Bali menuju Tolangkir yaitu: di Besakih, lalu berdoa dengan memusatkan pandangannya ke ujung hidung (angkrana sika) pada sudut sebuah goa, seraya membunyikan genta I Brahmana itu. Maak terdengarlah suara genta itu oleh Bhatara Naga Basuki dari patala, lalu segera beliau keluar menjumpai orang yang membunyikan bajra itu, katanya: "Apa sebabnya engkau Bagus datang ke Bali memanggil aku ini" Ida Manik Angkeran menjawab: "Ya, Bhatara maafkanlah, hamba ingin mohon bunga gilosawit, kembang kuning sawit, agar selalu menang dalam perjudian, untuk bekal ke Majapahit.
Jawab Bhatara: "Jika demikian aku anugrahi engkau menang dalam sambungan ayam supaya banyak mendapat mas, pulanglah engkau Manik Angkeran." Hingga tiga kali Bhatara mengulangi sabdanya itu. Ida Manik Angkeran masih juga tetap diri tidak pergi dari tempatnya akhirnya ia berkata: "Ya Bhatara hamba ucapkan terima kasih atas anugerah Bhatara. Sebelum hamba meninggalkan tempat ini sebaiknya paduka Bhatara masuk ke Istana terlebih dahulu."
Bhatara Naga Basuki masuk dalam goa. Setelah setengah bagian ke dalam goa, maka terlihat oleh Manik Angkeran sebuah Intan besar yang gemerlapan menjadi perhiasan ekor Bhatara Naga Raja. Gairah hati Manik Angkeran ingin memiliki intan besar itu tidak tertahan olehnya, lalu segera menghunus keris pejenengan yang bernama I Gopang, dengan secepat kilat diparangkan kepada ekor Bhatara itu. Sekali parang, ekor Naga Raja itu putus, maka segera diambil intan itu, terus dilarikan.
Tidak terperikan murka Bhatara Naga Basuki dengan hal yang demikian itu, segera bekas tapak kaki Manik Angkeran itu dijilat yang sedang lari sangat deras tersungkur jatuh lalu terbakar hangus menjadi abu. Sekalipun demikian akibatnya, namun Bhatara Naga Raja tetap berduka cita.
Diceritakan Danghyang Shidimantra merasa was-was akan terjadi sesuatu bahaya yang menimpa diri anaknya, karena tidak kembali dalam tiga hari dari kepergian bermain sambung ayam. Ketika itu kebetulan hari Purnama masa Kapat, Danghyang Sidhimantra hendak memuja, dicarinya genta bajra si Brahmana sudah hilang, kian bertambah duka cita Sang Pendeta dan merasa dalam bathinnya: "Wahai kiranya I Bagus (Manik Angkeran) pergi ke Bali" segera diambilnya daun alang-alang dikucanya keluar api.
Tidak diceritakan lebih lanjut, lalu Sang Pendeta pergi ke Bali menuju ke Besakih. Di muka goa Bhatara Naga Raja beliau memuja. Tetapi Bhatara tidak keluar. Hingga tiga kali Sang pendeta memuja, tiba-tiba gemetar permukaan bumi berbarengan dengan keluarnya Bhatara Naga Basuki. Terlihatlah oleh Bhatara seorang pendeta pucat lesi wajah durjanya bersanda: "Apa sebab Sang gede datang ke Bali memujaku?"
"Ya Bhatara, hamba mencari anak hamba Ki Manik Angkeran", jawab Bhatara Sidhimantra. Sabda Bhatara: "Wah ia telah hangus menjadi abu. Sebabnya terjadi demikian itu Manik Angkeran sangat durhaka kepadaku yaitu memotong ekorku ini. Kini apa kehendak Sang Gede? Apa ingin supaya ia hidup? Saya akan meluluskan apabila Sang Gede dapat menyambung ekorku kembali sebagai sediakala."
Demikian sabda Bhatara.
Jawab Sang Pendeta: "Baiklah hamba mengerjakan perintah Bhatara". Seketika itu ekor Bhatara Naga Raja yang putus itu dirapatkan dan diberi mantram, maka kembalilah sebagai sedia kala tidak ada cacatnya.
Sabda Bhatara: "Terima kasih Sang Gede karena Sidhi Mantram Sang Gede, mulai saat ini berhenti bernama Mpu Bekung, Mpu Sidhimantra nama yang tepat bagi Sang Gede. Sekarang lihatlah anak Sang Gede, Ki Manik Angkeran. Sang Pendeta menengok ke tempat abu anaknya, tampak sebuah intan di dalamnya. Intan itu diambil lalu abunya diludahi oleh Mpu Sidhimantra. Seketika itu Manik Angkeran hidup kembali, tidak ingat kepada dirinya bahwa ia menjadi abu, segera bangun menggapai intan itu, hendak melarikan diri. Danghyang Sidhimantra cepat berkata: "Hai bagus apa kehendakmu ini? Intan yang kamu gapai-gapai itu telah Bapa yang membawanya".
Manik Angkeran membuka matanya lebar-lebar memperhatikan orang memanggil namanya. Terlihatlah olehnya Pendeta ayahnya berdiri di hadapannya bersama Bhatara Naga Basuki. Manik Angkeran berdiam malu. Pendeta Sidhimantra berkata: "Anakku Manik Angkeran, ketahuilah dirimu bahwa engkau telah mati kemarin, disebabkan karena terlalu durhaka kepada Bhatara. Kini demi belas kasihan Bhatara engkau hidup kembali, kuserahkan engkau kepada Bhatara supaya menjadi juru sapu Bhatara Gunung Agung, diberi wewenang turun menyelenggarakan sembah bakti rakyat Bali".
Manik Angkeran menuruti perintah ayahnya seraya menyembah, demikian pula terhadap Bhatara Nagaraja. Danghyang Sidhimantra gembira hatinya melihat anaknya hidup kembali dan telah menuruti nasehatnya, lalu memohon diri kepada Bhatara pulang kembali ke Jawa. Setelah sampai di Pantai Desa Gadingwani maka beliau berhenti berjalan seraya berpikir-pikir: "Jika tidak dibuatkan empengan, tentu I Bagus kembali lagi ke Jawa. Lalu Sang Pendeta Anggranasika (melihat ujung hidung) mempersatukan bathinnya untuk mengadakan suatu ciptaan. Tiba-tiba Desa Gadingwani lenyap seketika itu, lalu digoreskan tongkatnya maka terjadilah suatu hubungan laut Utara dengan laut Selatan merupakan selat kecil dinamai segara Rupet.
Demikianlah riwayatnya yang tercantum dalam pustaka Rajapurana, asal mulanya anak cucu dan turunan-turunan Ida Manik Angkeran menjadi juru sapu paming di Parhyangan Besakih.                                             
Kemudian dari pada itu turun-turunan Ki Pangeran Mas membuat pula pura disana diberinya nama juga Bukeabe, yang patut diselenggarakan oleh Sang Brahmana Wangsa semua terutama oleh turun-turunan I Pangera Mas.
Apabila ada kemudian turun-turunan I Bendesa Mas tidak ingat dengan persembahyangannya terhadap Pura Pule dan Bukeabe, seluruh keluarga Pangeran Masti tidak mendapat selamat, surut kebijaksanaannya, anak cucunya putus, berlaku durhaka dan menyalahi tata tertib/susila, tidak putus-putusnya dirundung kemalangan, karena tidak menuruti ucapan piagam-piagam. Demikianlah amanat I bendesa Mas kepada anak cucunya. "Janganlah engkau anak cucuku lupa terhadap amanatku ini". Demikianlah kata Bendesa Mas terakhir.
Ada pula anugerah Ida pedanda Dwijendra dulu terhadap I Pasek dan I Bendesa Mas, yaitu:
Pada waktu mati kemudian, boleh memakai trilaksana, menggunung pitu, ancak taman, kapas warna sembilan, karang liman, memakai Bhoma bersayap, berbulu cintya reka, saluyang lengkap dengan segala upakara yang utama, berkajang, berkalasa, berpatrang, berkemul, terpana, paturalangan yang berbentuk serba bintang, boleh dipergunakan nista media utar, matebas-tebas, utamanya dengan uang 8000, madya 4000, nista 2500, nistaning nista 1700.
Semua itu patut diwarisi oleh anak cucunya terus menerus, Amanat paduka Bhatara Sakti Wahurawuh demikian itu dinasehatkan oleh Pangeran Mas kepada anak cucunya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review