Kamis, 17 November 2011

Satuan Ukur Elemen Arsitektur Tradisional Bali

Satuan ukur setiap elemen dalam arsitektur tradisional Bali disebut dengan gegulak. yang diturunkan dari bagian-bagian fisik pemilik atau pemakai bangunan. Satuan ukur ini ditetapkan dalam sebilah bambu sebagai modul dasar. Melalui gegulak ditentukan ukuran setiap dimensi arsitektur mulai dari ukuran pekarangan, tata letak masa bangunan hingga pada elemen bangunan yang kecil, seperti: panjang tiang (sesaka), panjang balok tarik (lambang, pementang, dan tada paksi), panjang usuk (iga-iga), hingga hiasan pada tiang (kekupakan). 

Ukuran pekarangan digunakan satuan depa, yakni ukuran panjang tangan terentang dari ujung jari kanan ke ujung jari kiri dengan variasi ‘depa alit’, ‘depa madia’ dan ‘depa agung’ (lihat Gambar 4. 1). Jumlah kelipatan satuan ukur depa yang ditambah ‘pengurip’ merupakan panjang sisi-sisi pekarangan yang diukur. Untuk ukuran tata letak masing-masing masa bangunan didasarkan pada satuan ukuran ‘tapak’ yakni sepanjang tapak kaki dari ujung tumit sampai ujung jari kaki. Jumlah kelipatan tapak yang ditentukan didasarkan pada kelipatan sloka wawaran dari astawara (sri-indra-guru-yama-rudra-brahma-kala-uma) yang diakhiri pengurip ‘a tapak ngandang’ yakni selebar tapak kaki. Penentuan setiap kelipatan disesuaikan dengan fungsi bangunan yang sejalan dengan makna ungkapan dari setiap wawaran, seperti: kelipatan sri untuk jarak ke bangunan lumbung/tempat padi (padi sebagai simbul Dewi Sri); kelipatan brahma untuk jarak paon/dapur (api sebagai saktinya Dewa Brahma); kelipaatn guru untuk tempat bangunan pemujaan leluhur (Bhatara Hyang Guru) dst .

Dimensi bangunan digunakan satuan rai (ukuran penampang tiang) yang diturunkan dari ruas-ruas jari, yakni: tiga ruas, tiga setengah ruas dan empat ruas. Besaran ini digunakan sebagai dasar ukuran pada penampang tiang untuk tiang kecil sampai pada tiang terbesar. Sebagaimana kelipatan ukuran lainnya, ukuran bagian-bagian bangunan dari kelipatan rai juga ditambah pelebih untuk pengurip. 

Ukuran pengurip juga di ambil dari bagian-bagian jari tangan dengan istilahnya masing-masing, seperti: a guli (jarak ujung jari ke ruas pertama jari), a guli madu (jarak ruas pertama ke ruas kedua jari) , a useran tujuh (satu pusaran telunjuk), a nyari (selebar jari). Pengurip juga dapat diambil dari lebar masing-masing jari dan pecahan panjang sisi penampang tiang, yakni: seperempat, setengah, tiga perempat panjang sisi penampang (¼, ½, ¾ rai). 

Pada prinsipnya ukuran gegulak adalah bagian refleksi dari naluri masyarakat Bali untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam semesta, sesuai dengan pilosofi Tri Hita Karana. Arsitektur sebagai lingkungan buatan (salah satu bentuk dari alam baru) diharapkan dapat mengayomi dan mewadahi aktivitas pelakunya sebagaimana alam semesta. Oleh karena itu ukuran fisik (sistem proporsi) ‘alam baru’ ini tidak pernah terlepas dari ukuran angota tubuh kepala keluarga atau pemiliknya. Gegulak sebagai sistem proporsi tradisional yang sangat menentukan dalam proses pembuatan arsitektur di Bali mengakibatkan terwujudnya arsitektur rumah tinggal dengan proporsi yang sangat bervariasi, dan secara partikular sangat melekat terhadap penggunanya.


Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

Arsitektur Tradisional Bali Masa Kolonial

Jatuhnya kerajaan–kerajaan di Bali oleh pemerintah Belanda tahun 1846, menandakan pusat kekuasan bergeser dari pemerintahan tradisional menjadi pemerintahan modern (sistem pemerintahan kolonial Belanda). Kekuasaan raja dan patih tidak lagi berbicara, namun tunduk pada berbagai kebijakan dan intervensi pemerintah kolonial. Proses kolonisasi mengawali kontak budaya Bali dengan budaya Barat. Kehadiran kolonisasi di Bali memberi peluang besar lahirnya hasrat dari budaya lokal untuk menyerap nilai-nilai budaya baru. Ini berarti arsitektur tradisional Bali sebagai bagian dari wujud budaya juga akan mengalami pergeseran.

Pergeseran ini didorong pula oleh kehadiran beberapa arsitektur kolonial di Bali. Hal yang terpenting dalam pendirian arsitektur kolonial ini adalah adanya kebijakan pemerintah kolonial untuk melibatkan tukang-tukang lokal dalam proses pembuatannya. Kebijakan ini berarti memberikan peluang bagi undagi Bali untuk memperoleh kesempatan mengenal sistem teknologi modern dan beberapa pengetahuan tentang arsitektur Barat. Berbagai unsur-unsur estetik dan teknologi arsitektur kolonial yang hadir, kemudian diserap, hingga mempengaruhi perkembangan bentuk arsitektur rumah tinggal tradisional Bali. Ini dibuktikan dengan hadirnya jenis oranamen Patra Olanda (ornamen yang mendapat pengaruh dari Belanda), bangunan wantilan (bangunan serba guna) sebagai bangunan komunal dengan kontruksi bentangan balok yang cukup panjang, dan bale loji yang menggunakan sistem konstruksi dinding pemikul. 

Di masa kolonial juga dibangun berbagai bangunan dengan fungsi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah kolonial Belanda, seperti: Museum Bali yang didirikan pada tahun 1910 di Denpasar oleh WFJ. Kroon dengan arsitek Curt Grudler dari Jerman. Tata ruang arsitektur Museum Bali agak berbeda, dimana bangunan dibuat tertutup dengan mempertimbangkan segi keamanan yang tinggi sesuai dengan fungsinya sebagai tempat penyimpanan barang-barang bersejarah.


Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

Arsitektur Tradisional Bali Pada Jaman Petengahan

Masa ini bertepatan dengan datangnya para Arya dari Majapahit dan berkuasa di Bali sekitar abad XIV. Pada tahun 1350 pemerintah majapahit mengangkat Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati di Bali dengan keraton yang berpusat di Samprangan (sebelah timur kota Gianyar). Dalam Kekawin Jawa dari abad XIV, Nagarakrtagama mengungkapkan tentang penyebaran kebudayaan Majapahit ke Bali, dikatakan bahwa pada periode ini bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi (the chancellery language) berubah dari bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno dan tulisan-tulisan Jawa mulai ditiru. Perubahan-perubahan ini menandai dominasi kebudayaan Jawa yang berlangsung berkenaan dengan perubahan-perubahan politik antara Jawa dan Bali. 

Masuknya intervensi Majapahit membawa sistem stratifikasi sosial ke dalam masyarakat Bali yang di kenal dengan sebutan ‘catur warna’ : Brahmana, Kesatria, Wesya dan Sudra. Kehadiran catur warna memunculkan istilah: Geria sebagai rumah tinggal untuk golongan Brahmana; Puri sebagai tempat tinggal golongan Kesatria; Jero adalah tempat tinggal golongan Kesatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung; dan Umah adalah tempat tinggal dari golongan Wesya dan Sudra. Dengan demikian di periode ini bentuk arsitektur rumah tinggal sangat ditentukan oleh faktor tingkatan kasta, status sosial dan peranannya di masyarakat. 

Pengaruh kebudayaan Majapahit dalam arsitektur Bali juga terlihat dari mulai munculnya penggunaan bata pengganti batu, yakni bata digosokan dengan bata yang lain dengan sedikit air akan luluh dan membentuk konstruksi dinding tanpa siar. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri lagi sejak ditemukannya penggunaan balok bata persegi panjang untuk pondasi di pura Pegulingan, Gianyar Bali pada tahun 1984. Balok persegi panjang ini menyerupai batu bata yang ditemukan di situs Majapahit, Trowulan. Temuan ini memperkuat kepercayaan para ahli bahwa bangunan tradisional Bali banyak melestarikan arsitektur Majapahit.

Pada pemerintahan Raja Dalem Waturenggong datang seorang bhagawanta besar dari Kediri (Jawa Timur), bernama Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau ke Bali untuk perjalanan rohani (tirtayatra) pada tahun 1489, bersamaan dengan pudarnya kerajaan Majapahit. Bhagawanta ini juga seorang budayawan dan arsitek. Kehadirannya sangat mempengaruhi pengembangan dan penyempurnaan ajaran agama Hindu dan pola arsitektur di Bali, hingga membawa masa pemerintahan Dalem Waturenggong ke puncak kebesaran dan kejayaannya. Dang Hyang Nirartha menegaskan kembali Keesaan Tuhan melalui konsep arsitektur Padmasana sebagai bangunan tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu perjalanan beliau di Bali banyak berkaitan dengan kehadiran tempat suci yang ada di sepanjang pesisir pantai Bali. 

Dang Hyang Nirarta kembali menegaskan ajaran Çiwa Siddhanta dengan memuja Tri Purusa yang merupakan perwujudan Tuhan dalam posisi vertikal sebagai penguasa tiga dunia yakni: Dewa Çiwa penguasa dunia bawah/‘nista’; Sada Çiwa penguasa dunia tengah/’madya’; dan ketika Beliau berada di alam atas/’utama’ dikenal dengan nama Parama Çiwa. Tri Purusa sebagai pedoman dalam setiap kegiatan ritual masyarakat Bali hingga pada perwujudan arsitekturnya. Konsep alam ‘atas’, alam ‘tengah’, dan alam ‘bawah’ berlaku menyeluruh dalam perencanaan arsitektur dari saat penentuan teritorial, tata letak bangunan, tata nilai, hingga pada ragam hias Arsitekturnnya.

Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

Arsitektur Tradisional Bali Jaman Bali Aga

Pada periode ini arsitektur telah dikembangkan sebagai benda budaya yang dibentuk dari benda-benda alam dalam suatu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Dalam ’Monografi Daerah Bali’ dikatakan bahwa masa Bali Aga dimulai sejak 800 M. Asumsi ini didasarkan pada penemuan bukti-bukti sejarah berupa ‘stupika tanah liat’ berangka tahun 778 M yang terdapat di Pejeng. Stupika ini berisikan tentang mantram-mantram agama Budha Mahayana. Bukti lain adalah prasasti ‘Blanjong’ yang ditemukan di desa Sanur, berangka tahun 913 M. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa raja yang memerintah Bali Kuno saat itu adalah Çri Kesari Warmadewa yang menjadi cikal bakal dinasti warmadewa di Bali. Raja keturunan Warmadewa yang terkenal adalah Raja Dharma Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah di Bali dari tahun 989 M-1001 M. 

Masyarakat Bali Aga memiliki suatu kebudayaan dan peradaban dengan sistem relegi yang menyembah nenek moyang, serta suatu susunan hidup kemasyarakatan yang dilandasi atas semangat kebersamaan dalam suatu bentuk republik-republik desa yang independent. Orang Bali Aga sangat kuat memegang sistem adatnya, sehingga tidak jarang masyarakatnya menentang kebijakan-kebijakan baru kerajaan yang tidak sejalan dengan sistem releginya. Soegianto mengatakan pada akhir abad X, pada masa pemerintahan raja suami-istri Raja Dharma Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriyadharmapatni terjadi sebuah kemelut dalam pemerintahan kerajaan Bali Kuno; raja terpaksa harus mengambil jalan tengah untuk menghadapi orang-orang Bali Aga yang menentang kebijaksanaan kerajaan, dengan mendatangkan seorang pandita Çiwa dari Daha (Jawa Timur) bernama Empu Kuturan. Konsepsi religi yang diperkenalkan Empu Kuturan mampu menjembatani perbedaan politis religius tersebut. Di samping tetap menjalankan ritus asli masyarakat Bali Aga, beliau juga memperkenalkan suatu cara baru yang sangat diperlukan untuk memberikan disipilin dan ketertiban sehingga tidak mendatangkan anarki di dalam kehidupan ritus keagamaan yang dapat mengancam ketertiban dan keamanan kerajaan. Baginya kesatuan ‘sembah’ sangat diperlukan dalam bentuk konsep, sehingga melahirkan karya besar yang dikenal dengan konsep Tri Khayangan (Khayangan Tiga). 

Tri Khayangan mengarahkan masyarakatnya untuk memuja perwujudan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Murti: Brahma, Wisnu, dan Çiwa (Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur), sehingga setiap desa adat diharapkan memiliki Pura Khayangan Tiga sebagai tempat pememujaan Beliau, yakni: Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem (di wilayah Buleleng: Pura Desa, Pura Segara, dan Pura Dalem). Konsep Tri Kahyangan secara keseluruhan dapat diterima oleh kelompok Bali Aga dan diterapkan pada setiap desa adat di Bali hingga kini. Karya besar beliau yang lain sebagai seorang arsitek dan budayawan adalah mendirikan desa adat serta awig-awignya (aturan-aturannya); menganjurkan pembuatan sanggah/merajan (tempatsuci di setiap rumah tinggal); pencetus pelinggih Meru untuk pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur yang telah suci. Empu kuturan mendampingi dinasti Warmadewa sampai pemerintahan raja Anak Wungsu, hingga membawa kerajaan Bali Kuno ke jaman keemasan.

Arsitektur rumah tinggal masa Bali Aga terletak dalam satu lingkungan bangunan komunal dengan mengayomi aktivitas penghuninya sehari-hari. Pola arsitektur rumah tinggal peninggalan kebudayaan masa Bali Aga yang sampai sekarang masih diterapkan di Buleleng adalah di desa Sidatapa, desa Cempaga, desa Sambiran, dan desa Julah. 

Pola penataan ruang arsitektur di desa-desa tersebut pada umumnya didasarkan pada falsafah bahwa alam semesta (makrokosmos) secara hirarki terbagi dalam 3 bagian, dimana tiap pembagian tersebut melambangkan alam ‘utama’ (alam para dewa), alam ‘madya’ (alam manusia), dan alam ‘nista’ (alam butha). Dalam diri manusia ketiga alam ini diibaratkan sebagai kepala, badan dan kaki. Sebagaimana halnya alam semesta (makrokosmos), arsitektur rumah tinggal juga diharapkan dapat berfungsi mewadahi aktivitas manusia dengan baik, sehingga perwujudan arsitekur diupayakan untuk dapat meniru bahkan menduplikat alam semesta selaku konsep dasar dan pola dasar.

Di desa Sidatapa, falsafah ini diterapkan dengan membagi setiap masa bangunan rumah tinggal menjadi tiga bagian.(lihat Gambar 2. 4) Perbedaan hirarki ruang di pertegas dengan perbedaan tinggi level lantai yang menempatkan ruang ‘utama’ pada lantai yang paling tinggi dan bagian yang paling dalam. Ruang ini difungsikan sebagai ruang persembahyangan dan sekaligus sebagai ruang tidur. Bagian lantai yang lebih rendah dari ruang tidur adalah ruang ‘madya’ sebagai dapur. Bagian paling luar adalah ruang ‘nista’ berupa teras tempat menerima tamu, atau tempat melakukan pekerjaan sambilan, seperti menganyam (salah satu mata pencaharian masyarakat setelah masuknya pariwisata). 

Raja Bali Kuno terakhir bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang berpusat di Bedaulu. Lontar ‘Usana Jawa’ mengungkapkan bahwa masa pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten didampingi oleh seorang Mahapatih bernama ‘Kebo Iwa’. Mahapatih ini juga tokoh arsitek yang meninggalkan beberapa data arsitektur dan masih bertahan sampai sekarang, di antaranya adalah konsep bangunan komunal ‘Bale Agung’. Peninggalan-peninggalan kebudayaan ini masih terlihat di beberapa daerah seperti Gunung Kawi, Tirta Empul, Gua Gajah, dan sekitar Bedaulu-Tampaksiring sebagai lokasi pusat kerajaan pada masa Bali Aga. 

Periode Bali Aga berakhir bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Bali Kuno yang berpusat di Bedaulu tahun 1343. Selanjutnya ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada berhasil menaklukan pulau Bali.

Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

Konsep Tri Angga Dalam Arsitektur Tradisional Bali

Tri Angga adalah ungkapan tata nilai pada ruang terbesar jagat raya mengecil sampai elemen-elemen terkecil pada manusia dan arsitektur. Pada alam semesta (bhuwana agung) susunan tersebut tampak selaku bhur, bhuwah dan swah (tiga dunia/tri loka) bhur sebagai alam ‘bawah’ adalah alam hewan atau butha memiliki nilai ‘nista’, bwah adalah alam manusia dengan nilai ‘madya’ dan swah alam para Dewa memiliki nilai ‘utama’. Demikin pula pada manusia (bhuwana alit) ungkapan tata nilai ini terlihat pada tubuhnya yang tersusun atas: kaki sebagai ‘nista angga’, badan sebagai ‘madya angga’ dan kepala adalah ‘utama angga’. Konsep Tri Angga ini diproyeksikan dalam setiap wujud fisik arsitektur, teritorial perumahan dan teritorial desa. 

Pada arsitektur konsep Tri Angga menampakan dirinya dengan jelas, yakni rab/atap bangunan adalah kepalanya; pengawak atau badan bangunan selaku madya angga; serta bebataran merupakan kaki sebagai nista angga. Penyusunan Tri Angga pada areal pekarangan rumah, yakni teba (tempat ternak, pembuangan sampah dan kotoran rumah tangga lainnya) selaku nista angga, tegak umah atau tempat massa bangunan adalah madya angga, dan pelataran pemerajan/tempat suci adalah utama angganya. Dalam pola tata ruang desa, pura-pura desa sebagai utama angga, desa pakraman (daerah pemukiman) sebagai madya angga, dan setra atau kuburan sebagai nista angga.

Pada badan manusia yang berdiri vertikal dengan mudah tampak bahwa yang ‘nista’ di bawah, ‘madya’ di tengah dan ‘utama’ di atas. Pada bidang yang horizontal seperti pekarangan rumah dan areal desa, pola tata letak ‘nista-madya-utama’ berpedoman pada orientasi kosmologis dan tata nilai ritual yang menempatkan arah kaja dan kangin sebagai arah ‘utama’, serta kelod dan kauh sebagai arah ‘nista’.


Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

Filosofi Arsitektur Tradisional Bali

Filosofi Arsitektur Tradisional Bali mengandung kaidah-kaidah terkait dengan pandangan relegi dan tata nilai sosial yang pada hakikatnya memberikan penyelarasan terhadap alam lingkungan demi keseimbangan hubungan manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos) dan Maha Pencipta (metakosmos). Hubungan keselarasan dan keseimbangan ini sangat jelas terlihat dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga kutub yang menjadi penyebab lahirnya kebahagiaan. Dalam alam semesta ketiga kutub ini hadir selaku tiga dunia, yakni: bhursebagai alam bawah tempat bhuta kalabwah sebagai alam tengah tempat hidup mausia, dan swah adalah alam atas tempat para Dewa.Berdasarkan pandangan kosmologi ketiga kutub ini menempati arah yang berbeda dengan tingkatan nilai ruangnya masing-masing, yakni arah terbitnya matahari dan dataran yang paling tinggi (gunung atau bukit) memilik makna ‘utama’ sebagai tempat kediaman para dewa, arah terbenamnya matahari dan dataran yang paling rendah (laut) memiliki makna ‘nista’, sedangkan di bagian tengah sebagai tempat hidup manusia yang bernilai ‘madya’. Kendatipun nilai ruang ketiga kutub tersebut berbeda, bukan berarti salah satunya harus dihilangkan atau dimusnahkan, namun justru dihadirkan bersama-sama. Kehidupan manusia dan alam semesta akan dapat berperanan secara optimal bila ketiga unsur ini dalam satu kesatuannya berada dalam keadaan seimbang (balance) dan manunggal.

Arsitektur rumah tinggal sebagai lingkungan buatan (salah satu bentuk dari alam baru) diharapkan dapat mengayomi dan mewadahi aktivitas manusia sebagaimana layaknya alam semesta. Alam buatan inipun diharapkan dapat memberi rasa bahagia serta memiliki pertalian yang serasi dengan diri manusia selaku isinya. Sejalan dengan itu, maka rumah tinggal dibuat sebagai duplikat dari alam semesta dengan menerapkan filosofi Tri Hita Karanasebagai tiga kutub yang manunggal pada rumah tinggal, yakniparahyangan (tempat suci) sebagai tempat yang bernilai utama di arah kaja atau kanginpawongan (tempat tinggal manusia) bernilai madya di arah tengah, dan palemahan (areal servis) sebagi unsur ‘nista’ di arah kelot atau kauh.

Di samping filososfi yang menjiwai setiap aktivitasnnya sehari-hari di dalam berarsitektur, terdapat pula konsep arsitektur sebagai tata nilai dan pedoman yang normatif dalam merancang bangunan, sehingga arsitektur yang ada di tata dalam suatu komposisi bermakna dalam setiap massa bangunan dan penempatannya.


Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

Arsitektur Bali



Arsitektur, meskipun dapat dikategorikan dalam senirupa, pada kenyatannya memerlukan keahlian artistik yang mensyaratkan keahlian memadukan aspek-aspek teknis, ruang dan keindahan untuk kesempurnaan hasilnya. Dipengaruhi oleh tuntutan fungsi-fungsi yang melekat didalamnya, seni arsitektur kemudian berkembang dinamis, melahirkan bentuk dan wajah yang beragam. Arsitektur harus mampu memenuhi salah satu dari 5 kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan, ruang kegiatan arsitektur, kesehatan dan pendidikan) dengan memadukan keahlian teknis dan ketajaman rasa.

Lebih khusus lagi Arsitektur Tradisional Bali tidak saja menganut pakem seni, teknis dan rasa ruang namun didalamnya terkandung pula tatanan filosofi adat dan agama Hindu. Prosesi mengolah bahan bangunan misalnya kayu yang berasal dari pohon tertentu sampai menjadi elemen bangunan merupakan tahap-tahap yang mesti dilakoni dengan nilai filosofi, adat dan agama. Pohon dengan ketinggian tertentu yang saat ditebang menimpa sungai, misalnya, tidak bisa dipergunakan sebagal bahan bangunan karena akan menimbulkan akibat buruk baik pemakainya. Aturan adat dan agama seperti ini pada hakekatnya adalah untuk memberi perlindungan terhadap alam lingkungan sehingga kelestarian akan terjaga.

Arsitektur Tradisional Bali memiliki sangat banyak aturan, tatanan adat dan filosofi agama yang mesti dipahami dan dianut oleh seorang arsitek tradisional (arsitek Bali disebut Undagi). Karena itu, seorang Undagi pada dasamya adalah manusia utama yang mampu memahami seni, komposisi, proporsi, teknis, rasa ruang, filosofi agama, aturan adat (awig- wig) dan bahkan sepatutnya memahami puja mantra karena sang Undagi juga berhak melakukan prosesi keagamaan saat memulai pekerjaan (upacara Ngeruak Karang), masa pelaksanaan hingga peresmian bangunan (upacara Pamelaspas). Dalam mewujudkan rancangannya, sang Undagi dibantu oleh tenaga pelaksana yang ahli dibidangnya seperti tukang batu, kayu, struktur dan tukang ukir yang disebut Sangging.

Jika di Bali terlihat bentuk bangunan yang beraneka ragam, hal itu disebabkan karena fungsi, pemakai dan daerah yang berbeda. Semua aturan dan tatanan mengenai arsitektur tradisional Bali terhimpun dalam naskah kuno berupa lontar, antara lain: Asia Bhumi, Asia Kosala dan berbagai lontar tentang tata cara pelaksanaan upacara pada bangunan.

Manusia , Arsitektur, dan Alam Semesta



Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin Kaja-Kelod, Kauh-Kangin. Dan kaidah sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka.

Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di muka bumi dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya untuk selamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Bali membuat suatu kesalahan maka ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni dan keselarasan kehidupan.

Kosmologi Bali merupakan suatu hirarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut :

  1. Bhur, alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
  2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme.
  3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

Metodelogi Arsitektur Bali

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan Asta Kosala-Kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura.

Dalam Asta Kosala-Kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.

Arsitektur dan Status Sosial

Arsitektur tradisonal Bali tidak dapat dilepaskan dari kondisi status sosial masyarakatnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Bali sangat erat hubungan kekerabatannya terutama pada masyarakat Bali tradisional. Masyarakat Bali sangat menghormati model hirarki kasta yang merupakan sikap hidup mereka sesuai dengan agama yang mereka anut. Dan hal ini berpengaruh pada pola ruang dan arsitektur tradisional Bali.

Pembagian kasta sebagai tingkatan hirarki dalam status sosila masyarakat Bali dimulai dari yang paling bawah yaitu sudra, sebagai masyarakat umum biasa yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai petani, abdi, pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya dalam Arsitekur Tradisonal Bali kemasyarakatan. Masyarakat sudra umumnya hidup sedehana karena mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu pengetahuan, ilmu dagang dan ilmu pemerintahan.

Kemudian Weisya yaitu orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha. Masyarakat kelas ini cukup mapan karena usahanya dan pengetahuannya tentang perdagangan dan ilmu hitung, sehingga kehidupannya tercukupi.

Satria adalah strata yang cukup terhormat dengan profesi sebagai prajurit kerajaan atau pegawai pemerintahan. Mereka cukup berpendidikan karenanya mereka mempunyai cukup ilmu keprajuritan atau pemerintahan, sehingga mereka juga termasuk kaum berpendidikan cukup, atau setidaknya dapat mempelajari tata kenegaraan. Kehidupan kaum satria cukup mapan karena posisinya dalam masyarakat yang cukup terhormat.

Kasta yang paling tinggi adalah Brahmana, sebuah penghormatan paling tinggi masyarakat Bali bagi seorang pemimpin agama atau orang yang dianggap mumpuni dalam agama, atau juga yang disebut Pedande. Orang suci yang telah mencapai pencerahan SangHyang Widhi sehingga titahnya merupakan wahyu yang dibawa dari Mahadewa.

Sistem hirarki ini bahkan tertranformasi dalam system pola ruang pada bangunan-bangunan rumah, umum maupun pada pura. Seperti istilah jaba untuk bagian paling luar bangunan, kebudian jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. Dan kebudian jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal.

Teknik Konstruksi dan Material

Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama.

Nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunana atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bila dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.

Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.

Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. Sistem konstruksi yang lain adalah system kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum.

  • Bale Sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda.
  • Bale Sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom. 16 Arsitekur Tradisonal Bali
  • Bale Tiang sanga adalah sebuah bale dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3.
  • Bale Sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4.
  • Sedangkan Wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.

Pola Ruang Rumah Bali

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung.

Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan barat.

Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali.

  1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod. Arsitektur Tradisional Bali 17
  2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kaluh kelod.
  3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
  4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
  5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
  6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
  7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
  8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di lokasi kangin.
  9. Paon yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
  10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review