Senin, 07 November 2011

Masturbasi dan Onani Menurut Hindu

MASTURBASI DAN DAYA SPIRITUAL

Tidak banyak kalangan spiritual Hindu yang membicarakan masalah masturbasi, yang notabene merupakan masalah pelik bagi remaja. Kegamangan ini menyebabkan kalangan remaja Hindu mengalami anomi yang tidak berujung-pangkal. Sementara ahli-ahli agama lain marak membicarakan perilaku seksual ini. Saudara kita di Islam misalnya, telah menerbitkan buku berjudul ONANI yang membedah perilaku masturbasi dalam hukum agama mereka. Saudara Kristen telah membuka blog khusus yang membahas tentang masturbasi dalam kepercayaan mereka. Agama-agama tersebut dengan jelas melarang kegiatan tersebut, lalu bagaimana kepastian agama Hindu? Masturbasi bukan lagi hal yang tabu dan harus dibicarakan khusus dalam suatu forum antarkaum sejenis. Namun masturbasi, tidak dielakkan lagi sudah menjadi sebuah tren bagi remaja, bahkan hingga orang dewasa. Ada hal menarik yang patut menjadi pembicaraan semua kalangan spiritual Hindu mengenai masturbasi, yaitu apakah hal ini dilarang atau tidak dalam Hindu, mengingat pertimbangan-pertimbangan lain seperti seks bebas yang membuktikan bahwa remaja semakin tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Jika masturbasi memang dilarang, apa penyebabnya? Jika tidak, mengapa? Adakah sumber sastra yang mengatur hal ini? Satu lagi, jika sastra tidak memperbolehkan hal ini untuk dilakukan, bagaimana dengan fenomena masturbasi sebagai pengganti seks bebas? Bukankah jika kita pertimbangkan dengan akal sehat, masturbasi akan lebih baik dilakukan daripada seorang remaja harus menyia-nyiakan masa depan dengan seks bebas?

MENGAPA MASTURBASI?

Setiap manusia akan memasuki tahap-tahap perkembangan. Tahapan perkembangan tersebut dimulai ketika ia dilahirkan hingga mencapai tahapan perkembangan dewasa (25 tahun ke atas). Perkembangan-perkembangan dalam diri manusia meliputi seluruh aspek diri manusia, seperti fisik, emosi, intelegensi, dan seksualitas. Perkembangan yang cukup menyolok terjadi ketika remaja baik perempuan dan laki-laki memasuki usia antara 9 sampai 15 tahun (masa remaja awal). Pada saat itu manusia tidak hanya tumbuh menjadi lebih tinggi dan lebih besar saja, tetapi perubahan-perubahan juga terjadi di dalam tubuh yang memungkinkan untuk bereproduksi atau berketurunan. Perubahan ini dikenal dengan perkembangan seksualitas.
Dalam perkembangan seksualitas, manusia akan memiliki dorongan seks sebagai hasil reaksi hormon-hormon seks dalam tubuh. Dorongan seks adalah keinginan untuk melakukan hubungan seksual yang sering disebut sebagai birahi. Dorongan seks memerlukan pemuasan, yaitu dengan melakukan hubungan seks. Dalam kehidupan manusia yang dilandasi agama, moral, dan nilai-nilai masyarakat, hubungan seksual hanya boleh dilangsungkan ketika seseorang telah menikah (meskipun dewasa ini aturan seperti ini cenderung dilanggar). Untuk memuaskan dorongan seksual tersebut, banyak yang melakukan rangsangan sendiri yang disebut masturbasi.
Menurut BKKBN, masturbasi diartikan sebagai perilaku merangsang diri sendiri untuk memperoleh kenikmatan seksual. Demikian halnya menurut Wikipedia yang menyatakan bahwa masturbasi adalah rangsangan disengaja yang dilakukan pada organ alat kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Masturbasi biasa dilakukan, khususnya oleh remaja baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian menurut penelitian, laki-laki lebih banyak melakukan masturbasi dari pada perempuan. Hal ini terjadi karena bagian alat kelamin laki-laki sebagian besar berada di luar tubuh, seperti penis dan skrotum. Sementara pada perempuan lebih merupakan organ dalam seperti rahim dan indung telur. Keadaan ini memudahkan laki-laki untuk merangsang alat kelaminnya sendiri. Sebuah penelitian menyatakan bahwa 95% laki-laki dan 89% perempuan pernah melakukan masturbasi.
Thomas Szasz, seorang psikolog Amerika kelahiran Hongaria menyatakan bahwa masturbasi pada abad ke-19 adalah penyakit, namun pada abad 20 adalah pengobatan. Ini dapat dimengerti karena pada abad 20 penyakit kelamin sudah semakin merajalela seiring dengan semakin maraknya seks bebas. Karena itu, masturbasi yang memang adalah salah satu jalan pemuasan dorongan seksual menjadi sebuah alternatif yang aman. Menurut ilmu kedokteran, perilaku ini bukanlah perilaku seksual menyimpang. Namun, orang-orang yang melakukannya (khususnya remaja) sering merasa bahwa masturbasi dapat mengundang datangnya hal-hal buruk pada diri yang bersangkutan. Selain itu, masturbasi konon dapat menurunkan daya ingat. Banyak remaja yang setelah bermasturbasi muncul perasaan bersalah dan berdosa dalam pikiran mereka. Sebagian kalangan berpendapat hal tersebut hanya perasaan seseorang sebagai akibat benturan antara dorongan seksual dengan norma-norma agama yang tidak perlu dirisaukan. Ini berakibat pada pemahaman tentang masturbasi sebagai perilaku yang boleh saja dilakukan tanpa memandang akibatnya.
Sebaiknya, agar tidak memunculkan perilaku yang membabi buta, mitos-mitos masturbasi tersebut perlu dikaji ulang. Bagi Hindu sendiri, setiap perbuatan manusia, baik disengaja maupun tidak akan membawa akibatnya sendiri. Akibat yang akan diterima tidak hanya dari segi fisik saja, tetapi juga dari aspek spiritual (kejiwaan). Masturbasi sebagai sebuah perbuatan juga pasti akan mendatangkan akibat secara fisik dan spiritual. Oleh karena itu, ada baiknya perilaku masturbasi ini dikaji kembali dari sudut pandang spiritual.

BAGAIMANA SEBENARNYA HINDU MENANGGAPI HAL INI?

Tidak diragukan lagi bahwa Veda adalah kitab suci terlengkap di jagad raya. Veda merangkum segala pengetahuan yang diperlukan manusia untuk mengarungi kehidupan materi maupun rohani. Veda menguraikan segala hal dari Tuhan yang suci dan absolut hingga bagaimana memuaskan diri dalam Vatsyayana Kamasutra. Jika metode seks saja ada dalam Veda Smrti Kamasutra, bagaimana katalog masturbasi bisa tidak muncul?
Veda, khususnya pada kitab Sutra banyak membahas permasalahan seks, namun sangat sedikit membahas tentang masturbasi. Hal ini memunculkan istilah Hindu yang diam terhadap perilaku masturbasi. Namun sesedikitnya sumber mengenai hal ini, ada beberapa rujukan sastra mengenai masturbasi seperti yang terdapat dalam Manava Dharmasastra bab II sloka 180 yang menyatakan bahwa perilaku masturbasi sama dengan menyia-nyiakan kelaki-lakikan.
Ekah shayita sarvatrana
retah skandayet kvacit;
Kamaddhi skandyan reto
hinasti vratam atmanah. (Manava Dharmasastra II.180)
Hendaknya ia (siswa) tidak sendirian, tidak pernah menyia-nyiakan kelaki-lakiannya. Karena yang dengan sengaja menyia-nyiakan kelakiannya (onani) adalah melanggar pantangan.
Dari uraian sloka di atas, jelas-jelas Dharmasastra tidak menganjurkan perilaku masturbasi khususnya bagi siswa yang sedang menuntut ilmu, walaupun masturbasi menurut sastra tidak sama dengan hubungan seks. Aturan yang hampir sama juga disampaikan dalam Visnu Dharmasastra bab XXVIII sloka 48. Dengan demikian, jelaslah bahwa Hindu tidak diam ketika berhadapan dengan masalah masturbasi. Agama Hindu tidak melarang dengan tegas kegiatan masturbasi, tetapi juga tidak menganjurkan. Inilah salah satu keunikan Hindu. Ia tidak pernah memaksa umatnya untuk terpaku ke dalam dogma-dogma. Hindu memberikan kebebasan kepada pemeluknya asalkan sang pemeluk ingat dan sadar akan akibat dari setiap perbuatannya. Agama Hindu mendidik umatnya tidak dengan aturan ketat dan sanksi-sanksi dalam kitab suci, tetapi mendidik dengan membibing umatnya untuk belajar dari akibat perbuatan sebelumnya. Inilah sebenarnya yang disebut pendidikan karma phala. Hindu membimbing umatnya untuk maju selangkah demi selangkah ke level kesadaran akan baik-buruk perbuatan dengan mengajak umat belajar dari memetik langsung akibat perbuatannya. Dengan demikian, kesadaran baik-buruknya perbuatan akan tertanam di hati umat, sehingga umat akan melaksanakannya dengan kesadaran hati, bukan karena iming-iming surga dan takut neraka. Dalam kitab sucinya,Hindu memberikan penjelasan-penjelasan mendalam mengenai konsekuensi jika seseorang melakukan suatu perbuatan. Selanjutnya, ia menyerahkan sepenuhnya kepada umat: apakah perbuatan itu akan dilakukan atau tidak berdasarkan risiko-risiko tersebut?
Hal yang sama berlaku pula dalam perilaku masturbasi. Inilah yang menimbulkan prasangka bahwa Hindu dikatakan diam ketika berhadapan dengan permasalahan masturbasi. Padahal, Hindu sedang mendidik dengan cara lain. Di saat orang-orang menutup telinganya terhadap nasihat-nasihat yang baik, mereka setidaknya akan tahu makna nasihat-nasihat tersebut dengan mengalami dan merasakan akibatnya sendiri. Dengan itu, ia akan tahu mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak.
Terkait dengan masturbasi, terdapat beberapa konsekuensi yang perlu diperhatikan sebelum perbuatan tersebut terlanjur dilakukan:
  1. Seorang siswa remaja dituntut untuk mengoptimalkan ojas shakti atau kekuatan pikiran yang nantinya sangat berguna dalam menuntut ilmu. Ojas shakti adalah kekuatan mental yang mana dengan meningkatkan kekuatan tersebut, seseorang akan memiliki daya ingat yang luar biasa dan dapat menerima energi-energi spiritual yang suci. Ketika seseorang bermasturbasi dan mengalami orgasme, tubuh akan menghabiskan banyak energi. Orgasme ini akan bermanfaat apabila terjadi pada saat hubungan kelamin yang sah antara suami dan istri. Namun dalam masturbasi, orgasme hanya membuang-buang tenaga. Ketika peristiwa orgasme terjadi, ojas shakti atau energi pikiran ikut terkuras. Maka dari itu, setelah orgasme baik pada saat masturbasi atau hubungan seks, umumnya seseorang mengalami keletihan fisik dan mental. Keletihan fisik terjadi karena kontraksi otot daerah kelamin membutuhkan energi sebanding dengan energi yang dibutuhkan pemain tenis dalam dua set pertandingan. Keletihan mental terjadi karena terkurasnya ojas shakti. Terkurasnya ojas shakti menyebabkan kemunduran dalam daya ingat. Terkurasnya ojas shakti juga menyebabkan cahaya (aura) spiritual di badan memudar dan rasa percaya diri yang menurun. Sekalipun ojas shakti dapat meningkat kembali, itu memerlukan usaha secara spiritual dengan meditasi, japa, kirtanam (bhajan), sembahyang, dan diet makanan seimbang.
  2. Mengenai masturbasi sebagai penyia-nyiaan terhadap kelaki-lakian mungkin dapat dikaitkan dengan peristiwa orgasme. Dalam sastra dikenal adanya pengekangan terhadap nafsu kelamin (upasthanigraha). Kelamin hendaknya tidak dipermainkan sembarangan karena melalui penggabungan antara dua kelamin (purusha-pradhana) akan terbentuk kehidupan. Jadi, hendaknya kelamin sebagai lambang kehidupan dan regenerasi tidak diperlakukan sembarangan. Dalam alat kelamin terdapat unsur pembentuk kehidupan yaitu air mani pada laki-laki dan sel telur pada perempuan. Dalam air mani terkandung jutaan sel sperma yang dalam setiap sel terdapat jiwa yang menghidupinya. Air mani juga merupakan lambang kelaki-lakian yang berfungsi membuahi sel telur. Ketika seseorang bermasturbasi dan mengalami orgasme, air mani yang keluar akan tersia-siakan. Itu berarti lambang-kelaki-lakian juga disia-siakan. Selain itu, air mani mengandung jiwa-jiwa yang hidup, dengan demikian jiwa-jiwa cikal-bakal benih kehidupan tersebut juga terbuang percuma.
  3. Meskipun tidak disamakan dengan hubungan seksual, pengeluaran air mani semasa brahmacari dikatakan melanggar pantangan. Pantangan yang dimaksud adalah pantangan bagi seorang wajib belajar untuk tidak menghumbar nafsu.
  4. Dalam sebuah situs Ayurveda, masturbasi memang merupakan perilaku yang menyehatkan, sama seperti seks dalam Kamasutra. Namun, apa yang berlebihan pasti tidak baik. Masturbasi berlebihan dapat meningkatkan kinerja saraf simpatik dan memperbanyak produksi zat neurotransmiter berupa asetilkolin, dopamin, dan serotonin. Peningkatan jumlah hormon seks juga akan terjadi. Apabila masturbasi terus-menerus dilakukan, akan terjadi perubahan kimiawi besar-besaran dalam tubuh. Perubahan kimiawi tersebut menimbulkan gejala pusing, rasa lelah yang terus-menerus, penurunan daya ingat, sakit pinggang, kerontokan rambut, impotensi, ejakulasi dini, pengelihatan yang buruk, sakit pada testis atau pada selangkangan, serta sakit pada pinggul dan tulang ekor.

Pemerian tentang risiko masturbasi di atas dikaji dari segi spiritual-religius. Secara ilmu kesehatan modern, masturbasi juga dapat menyebabkan penyakit kelamin walaupun telah dinyatakan bahwa masturbasi adalah tindakan yang aman. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, Sp.K.K dalam wawancara dengan tabloid Hai menyatakan bahwa penyakit yang muncul akibat masturbasi dapat berupa penyakit infeksi dan alergi. Penyakit infeksi timbul karena perilaku masturbasi yang tidak bersih, seperti penggunaan alat-alat yang tidak higienis dan cara bermasturbasi yang beresiko menyebabkan luka pada alat kelamin. Alergi biasanya timbul karena penggunaan zat-zat yang tidak cocok dengan kulit sebagai “pelumas”.
Demikian beberapa konsekuensi dari masturbasi yang dapat dihimpun dari berbagai sumber sastra Hindu maupun dari literatur kesehatan modern. Sekarang keputusan ada pada para umat untuk menyikapinya. Satu hal yang perlu mendapat perhatian bagi kita semua adalah bahwa setiap perbuatan dalam kehidupan di dunia material pasti membawa konsekuensinya masing-masing. Setiap perbuatan pasti memiliki isi baik dan buruk, tergantung dalam situasi dan waktu yang bagaimana kita melakukan perbuatan tersebut. Seorang tentara yang membunuh musuh yang mengancam keselamatan suatu negara adalah perbuatan benar dan berpahala besar meskipun membunuh itu dilarang. Namun, seseorang yang membunuh rekannya karena marah adalah sebuah dosa besar. Demikian pula masturbasi. Memang benar masturbasi dapat menjadi perbuatan yang dianjurkan dan dapat pula dilarang karena dosa. Semuanya tergantung bagaimana dan pada saat apa perbuatan tersebut dilakukan. Jika seseorang dihadapkan kepada seks bebas yang penuh risiko dan merusak masa depan, sekiranya masturbasi dapat dilakukan sebagai pengganti demi mencegah perbuatan yang lebih merusak itu. Dikatakan dalam itihasa, bahwa setiap manusia tidak sempurna, jadi pasti akan juga pernah masuk neraka. Namun sekarang kita jelas bisa menebak neraka mana yang lebih mengerikan: neraka yang akan dikunjungi akibat seks bebas atau akibat masturbasi?
Sekalipun demikian, hendaknya kita tidak menjadikan masturbasi sebagai suatu kebiasaan. Banyak orang yang melampiaskan segala sesuatu dengan masturbasi, dan itu bisa dikatakan melanggar aturan. Lama-kelamaan, perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan dan menyebabkan bertambahnya papa atau dosa kita yang dapat menjerumuskan kita ke tingkatan kehidupan yang lebih rendah. Selain itu, masturbasi juga membuang-buang waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk berkreasi secara positif. Kita sebagai manusia, yang dianugerahi kelebihan oleh Yang Kuasa hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sedapat mungkin, (walaupun kita memiliki otoritas dalam berbuat yang terbaik buat kita) masturbasi dan juga seks bebas dihindari demi peningkatan mutu kehidupan fisik-spiritual dalam mencapai kebahagiaan materi dan rohani (jagadhita dan moksha).

MENGURANGI KEBIASAAN

MENGAPA SAAT PURNAMA DAN TILEM?

Masa remaja dikatakan masa di mana seorang anak berada dalam masa yang serba labil. Emosi, fisik, kepribadian, intelegensi, bahkan dorongan seksual pun sangat labil pada masa ini. Ini disebabkan oleh hormon seksual yang mulai diproduksi oleh tubuh mengalami penyesuaian. Remaja mulai belajar menerima dirinya yang sedang mengalami perubahan, termasuk mulai mengeksplorasi dirinya. Terkait dengan eksplorasi tubuh, organ seks adalah obyek yang mendapat perhatian khusus. Diperkuat oleh dorongan seksual, remaja khususnya akan mulai menjelajahi dan mengenal fungsi organ-organ seksnya. Tidak jarang eksplorasi yang tanpa pemetaan yang benar itu berbuah kehamilan di luar nikah, prostitusi, dan aborsi. Inilah salah satu hal dari perkembangan remaja yang perlu mendapat perhatian pranata sosial untuk ditindaklanjuti.
Pengekangan terhadap dorongan nafsu adalah hal yang tidak mudah dilakukan, bahkan oleh orang suci sekalipun. Seseorang dalam mengekang hawa nafsunya melakukan berbagai cara, mulai dari meditasi, puasa, kirtanam, japa, menyiksa diri, hingga memotong alat kelaminnya sendiri seperti kasus yang dilakukan seorang pendeta Budha di Thailand tahun 2006 lalu. Pengekangan terhadap hawa nafsu juga hendaknya menjadi fokus utama bagi seorang Brahmacari. Tidak hanya bagi brahmacari, seluruh manusia dianjurkan oleh sastra untuk mengekang hawa nafsu, karena dari nafsu muncul loba, dari loba (ketamakan) muncul kemarahan. Ketiganya adalah pintu masuk VIP ke neraka.
Kemunculan hawa nafsu memang tidak dapat ditebak. Nafsu selalu ada dalam diri sebagai musuh terbesar yang harus ditaklukkan manusia seperti yang dinyatakan dalam Kakawin Ramayana karya Mpu Yogiswara. Nafsu akan terus ada, namun ia seperti gelombang. Kadang nafsu sangat besar, namun beberapa saat kemudian turun dan mereda kembali. Demikian pula dorongan seksual. Setiap makhluk memiliki dorongan seksual, namun anehnya manusia memiliki potensi yang lebih besar untuk terhanyut di dalamnya. Jika hewan menggunakan dorongan seksualnya hanya untuk berkembang biak, manusia menggunakannya juga untuk kesenangan.
Sebenarnya, tinggi-rendahnya dorongan seksual (libido) selain oleh situasi dalam diri, dipengaruhi juga oleh keadaan alam. Filsafat Hindu menguraikan tentang hubungan yang erat antara manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Apa yang terjadi di makrokosmos terjadi pula di mikrokosmos. Jika makrokosmos mengalami kerusakan, maka kerusakan juga menjalar pada mikrokosmos. Nafsu dan libido seksual juga dipengaruhi oleh keadaan makrokosmos, yaitu oleh keberadaan bulan. Hal ini diperkuat oleh beberapa remaja yang pernah melakukan masturbasi yang mengaku dorongan seks mereka memuncak ketika purnama dan tilem. Demikian pula pada saat hari-hari rerahinan seperti kajeng kliwon dan tumpek. Hal ini memang masuk akal jika dikaji berdasarkan hubungan makro-mikro tadi.
Bulan menurut kajian Hindu memang benar dapat memengaruhi pikiran manusia, seperti yang dipaparkan Niken Tambang Rara dalam bukunya “Purnama Tilem: Rahasia Kasih Rwa Bhineda” sebagai berikut:
Bulan Purnama dan Bulan Tilem juga sering diistilahkan dengan hati atau pikiran manusia yang sedang menyusut dan terang-benderang. Dengan perumpamaan yang berbasis pada kekuatan kala (waktu). Bulan disimboliskan dengan Ketua Dewatanya pikiran (Candrama Manaso Jatah). Itulah sebabnya terkadang hati dan pikiran seseorang bisa menyamai sifat-sifat kedewataan. Jadi bisa dikatakan bahwa, jika pikiran seseorang sedang keruh, dirasuki oleh sifat-sifat angkara murka, maka diistilahkan Bulan Dewatanya sedang menyusut menuju dapa kegelapan (Tilem) (Niken Tambang Raras, 2004 : 12).
Susutnya bulan, atau periode menuju bulan mati (sering disebut krsnapaksa) memiliki pengaruh terhadap penyusutan pikiran manusia. Sebaliknya pada saat periode menuju pulan purnama (suklapaksa) memengaruhi pikiran menjadi lebih ekstrem. Pada saat bulan mati (tilem), pikiran yang menyusut menjadi kosong dan akan dengan sangat mudah dirasuki oleh pengaruh sadripu. Oleh karena itu, pada saat Tilem seseorang dianjurkan untuk mengingat nama Tuhan. Sedangkan pada saat purnama, apa yang dipikirkan akan berlipat ganda kekuatannya. Jika seseorang memikirkan Tuhan, maka pikirannya itu akan menjadi semakin kuat, sebaliknya jika ia memikirkan hal-hal buruk, keburukan juga akan berlipat ganda dalam pikirannya.
Kekuatan sinar bulan yang demikian kuat memengaruhi pikiran menjadi alasan mengapa dua orang yang sedang jatuh cinta dilarang bertemu dan berkasih-kasihan pada saat malam bulan purnama. Perasaan cinta tersebut akan berlipat ganda menjadi nafsu yang menggebu-gebu, dan akhirnya dapat berakibat terjadinya hal mesum. Tidak hanya pasangan yang belum menikah, pasangan suami-istri pun dilarang tidur dalam satu kamar pada saat purnama dan tilem karena kesucian hari akan tercemar apabila terjadi persetubuhan. Dari hasil persetubuhan yang salah waktu tersebut akan lahir anak yang cacat, penyakitan, dan berperilaku jahat (kuputra) karena pembuahan terjadi di waktu yang tidak tepat. Kitab Sarasamuccaya dan Manava Dharmasastra adalah contoh sastra yang mengatur hari-hari yang tepat dan tidak tepat melakukan hubungan seksual agar tercipta keturunan yang suci.
Peningkatan libido pada saat bulan purnama dan tilem secara ilmiah mungkin dapat dijelaskan seperti ini. Tubuh manusia terdiri atas 70% air yang berbentuk darah, cairan tubuh, keringat, enzim, dan air seni. Seperti air pada makrokosmos, air dalam tubuh manusia pun dapat ditarik oleh gaya gravitasi bulan. Ketika bulan purnama, air di pesisir pantai barat akan pasang, sementara air di pesisir pantai timur akan surut. Pengaruh tersebut terjadi juga terhadap air di tubuh manusia. Gravitasi bulan dapat memengaruhi sistem hormon dan sirkulasinya dalam tubuh. Jika sistem hormon terangsang dan dipengaruhi juga oleh pikiran, timbullah dorongan-dorongan baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika libido memuncak pada bulan purnama dan tilem. Ketika pengendalian diri tidak ada, seseorang akan mencari cara untuk memuaskannya, seperti dengan bermasturbasi.
Bagaimanapun juga, nafsu yang terlalu besar perlu dikurangi, termasuk melakukan masturbasi. Bermasturbasi pada hari purnama, tilem, dan rerahinan lain dapat menodai kesucian diri sendiri selain menodai kesucian hari. Hendaknya purnama dan tilem diisi dengan pemikiran-pemikiran tentang Tuhan dan hal-hal yang suci. Biasakanlah mengucapkan nama Tuhan berulang-ulang (namasmaranam), meditasi, berjapa, atau menyanyikan kidung pada hari-hari seperti itu. Satu hal lagi, alangkah baiknya bila persembahyangan bersama di pura saat purnama dan tilem tidak dilakukan bersama pacar.
Berdasarkan uraian di atas tentang gejolak nafsu dalam hubungannya dengan kekuatan bulan serta risiko-risiko melakukan perbuatan kotor pada hari-hari itu, ada beberapa solusi untuk menenangkan dorongan nafsu:
  1. Berpuasalah pada purnama dan tilem. Para yogi menyarankan agar seseorang melakukan puasa ketika purnama dan tilem. Pada saat itu sistem ritmik tubuh terganggu, sehingga perlu diseimbangkan dengan jalan berpuasa.
  2. Biasakan mengidungkan nama Tuhan pada hari-hari tersebut. Nama-nama Tuhan sangat banyak jumlahnya, dan dapat dipilih sesuai keinginan.
  3. Mulailah hari dengan mengucapkan nama Tuhan. Ketika bangun pagi, ucapkan sebuah-dua buah nama Tuhan. Ini adalah suatu kepercayaan yang mana jika hari dimulai dengan kesucian, maka kesucian itu akan berpengaruh dalam satu hari itu.
  4. Hindari memikirkan, membicarakan, atau melakukan hal-hal kotor.
  5. Bersembahyang dengan ikhlas. Jangan bersembahyang jika tidak ada minat bersembahyang. Lebih baik mengidungkan lagu-lagu suci.
  6. Lakukanlah meditasi.
  7. Buatlah komitmen untuk bertahan dari gejolak nafsu. Ucapkan komitmen untuk bertahan tersebut pada saat purnama sehingga kekuatannya meningkat.
Masih ada beberapa cara lain untuk mencegah bergejolaknya nafsu. Cara itu dapat berupa mengontrol makanan dengan diet vegetarian, memperbanyak minum air murni, dan jika memungkinkan ikutlah dalam kursus-kursus meditasi dan yoga.
Pada dasarnya, hal terpenting dari pengendalian dorongan bermasturbasi bukan terletak pada seberapa sering kita mengucapkan doa, berpantang makanan, dan melakukan olah raga, tetapi yang paling diperlukan dalam mengekang nafsu untuk bermasturbasi adalah komitmen. Veda menyatakan bahwa pikiran adalah rajendriya, yaitu penggerak segala indriya. Pikiran menjadi pusat kontrol segala aktivitas indera, termasuk konrol nafsu dan keinginan. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah dengan memusatkan pikiran dan menjauhkannya dari hal-hal yang dapat membangkitkan dorongan nafsu. Namun perlu diingat bahwa tidak selamanya nafsu itu merugikan. Nafsu justru akan sangat berguna dalam meniti kehidupan. Hanya saja, nafsu harus dikekang dan ditundukkan, jangan sampai kita sendiri yang ditundukkan oleh nafsu.


RITUAL UNTUK  PRAYASCITTA

Ritual prayascitta adalah ritual penyucian diri secara jasmani dan rohani. Ritual prayascitta tidak hanya dilakukan untuk menyucikan benda-benda dan alam, tetapi manusia pun perlu dibersihkan. Manava Dharmasastra menyatakan bahwa tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa dibersihkan dengan ilmu dan tapa, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan. Pembersihan unsur-unsur diri ini sangat penting karena manusia perlu meningkatkan kesuciannya agar dapat lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.
Beberapa kitab Dharmasastra seperti Manava Dharmasastra dan Visnu Dharmasastra serta kitab Bhagavatam mengutarakan mengenai ritual-ritual penyucian bagi seorang siswa yang telah mengeluarkan air maninya. Kitab Bhagavatam menganjurkan siswa tersebut melakukan pemandian sebelum mengikuti pelajaran lagi, sementara Visnu Dharmasastra (bab XXVIII sloka 48 dan 49) menganjurkan prayascitta khusus bagi seorang siswa yang  melakukan persetubuhan dalam masa belajarnya untuk mengemis ke tujuh rumah dengan mengenakan pakaian dari kulit keledai sambil mengakui perbuatannya. Tentunya dosa-dosanya tidak hilang sepenuhnya dengan jalan seperti itu. Bagaimanapun, bersetubuh sebelum menikah adalah sebuah dosa besar.
Sementara Manava Dharmasastra bab II sloka 181 menguraikan tentang ritual penyucian yang harus dilakukan oleh seorang siswa yang mengalami mimpi basah.
Svapne siktva brahmacari
dvijah shukramakamatah;
Snatvarkamarcayitva trih
Punarmamityrcam japet.
Seorang siswa dwijati yang dengan tidak sengaja telah menyia-nyiakan kelaki-lakiannya pada waktu tidur, harus memuja Sang Hyang Surya dan kemudian tiga kali mengucapkan mantra Rik yang mulai dengan ucapan “berikanlah kekuatanku kembali lagi kepadaku”.
Dalam sloka di atas terdapat kata siswa dwijati. Siswa dwijati dapat diartikan siswa yang telah diwinten melalui upacara Upanayana. Siswa yang beragama Hindu dewasa ini biasanya diwinten secara massal ketika pertama kali bersekolah, yaitu bertepatan dengan acara matur piuning di parahyangan sekolah. Mantra Rik yaitu mantra yang terdapat dalam Rigveda, yang kita ketahui adalah Mantra Gayatri yang terdapat dalam Rigveda Mandala III, sukta 62, mantra 10. Kita kenal juga Gayatri mantra sebagai mantra pertama dalam trisandhya. Kekuatan yang diminta kembali mungkin dapat diartikan sebagai ojas shakti. Dikatakan bahwa Surya dan energinya yaitu Savita adalah dewata penguasa ojas shakti dan dipuja melalui mantra-mantra Rig khususnya Gayatri Mantram. Gayatri ditujukan kepada aspek Savita, atau cahaya Tuhan yang mengandung energi spiritual.
Demikian beberapa penjelasan dan paparan mengenai masturbasi dalam Hindu. Semoga tulisan ini berguna untuk semuanya. Literatur Hindu mengenai masturbasi sangat minim, sehingga tulisan ini pun perlu perbaikan agar menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Namun sebuah usaha kecil sangat berarti daripada diam berpangku tangan.

REFERENSI BUKU

  • Puja, Gede. Sarasamuccaya. —. Mayasari, 1979.
  • Puja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta, M.A, Manawa Dharmasastra (Manu Dharma Sastra) atau Weda Smrti Copendium Hukum Hindu. Jakarta. Pemda Tingkat II Badung, 1995
  • Partia, I Gusti Rai. Berbuat Baik Belum Tentu Benar. Denpasar. Bali Post, 2002.
  • Raras, Niken Tambang. Purnama Tilem: Rahasia Kasih Rwa Bhineda. Surabaya. Paramita, 2004.
  • Titib, I Made. Beragama Bukan Hanya di Pura. XXX. XXX, 1998.

Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review