Jatuhnya kerajaan–kerajaan di Bali oleh pemerintah Belanda tahun 1846, menandakan pusat kekuasan bergeser dari pemerintahan tradisional menjadi pemerintahan modern (sistem pemerintahan kolonial Belanda). Kekuasaan raja dan patih tidak lagi berbicara, namun tunduk pada berbagai kebijakan dan intervensi pemerintah kolonial. Proses kolonisasi mengawali kontak budaya Bali dengan budaya Barat. Kehadiran kolonisasi di Bali memberi peluang besar lahirnya hasrat dari budaya lokal untuk menyerap nilai-nilai budaya baru. Ini berarti arsitektur tradisional Bali sebagai bagian dari wujud budaya juga akan mengalami pergeseran.
Pergeseran ini didorong pula oleh kehadiran beberapa arsitektur kolonial di Bali. Hal yang terpenting dalam pendirian arsitektur kolonial ini adalah adanya kebijakan pemerintah kolonial untuk melibatkan tukang-tukang lokal dalam proses pembuatannya. Kebijakan ini berarti memberikan peluang bagi undagi Bali untuk memperoleh kesempatan mengenal sistem teknologi modern dan beberapa pengetahuan tentang arsitektur Barat. Berbagai unsur-unsur estetik dan teknologi arsitektur kolonial yang hadir, kemudian diserap, hingga mempengaruhi perkembangan bentuk arsitektur rumah tinggal tradisional Bali. Ini dibuktikan dengan hadirnya jenis oranamen Patra Olanda (ornamen yang mendapat pengaruh dari Belanda), bangunan wantilan (bangunan serba guna) sebagai bangunan komunal dengan kontruksi bentangan balok yang cukup panjang, dan bale loji yang menggunakan sistem konstruksi dinding pemikul.
Di masa kolonial juga dibangun berbagai bangunan dengan fungsi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah kolonial Belanda, seperti: Museum Bali yang didirikan pada tahun 1910 di Denpasar oleh WFJ. Kroon dengan arsitek Curt Grudler dari Jerman. Tata ruang arsitektur Museum Bali agak berbeda, dimana bangunan dibuat tertutup dengan mempertimbangkan segi keamanan yang tinggi sesuai dengan fungsinya sebagai tempat penyimpanan barang-barang bersejarah.
Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar