Kamis, 17 November 2011

Arsitektur Tradisional Bali Pada Jaman Petengahan

Masa ini bertepatan dengan datangnya para Arya dari Majapahit dan berkuasa di Bali sekitar abad XIV. Pada tahun 1350 pemerintah majapahit mengangkat Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati di Bali dengan keraton yang berpusat di Samprangan (sebelah timur kota Gianyar). Dalam Kekawin Jawa dari abad XIV, Nagarakrtagama mengungkapkan tentang penyebaran kebudayaan Majapahit ke Bali, dikatakan bahwa pada periode ini bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi (the chancellery language) berubah dari bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno dan tulisan-tulisan Jawa mulai ditiru. Perubahan-perubahan ini menandai dominasi kebudayaan Jawa yang berlangsung berkenaan dengan perubahan-perubahan politik antara Jawa dan Bali. 

Masuknya intervensi Majapahit membawa sistem stratifikasi sosial ke dalam masyarakat Bali yang di kenal dengan sebutan ‘catur warna’ : Brahmana, Kesatria, Wesya dan Sudra. Kehadiran catur warna memunculkan istilah: Geria sebagai rumah tinggal untuk golongan Brahmana; Puri sebagai tempat tinggal golongan Kesatria; Jero adalah tempat tinggal golongan Kesatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung; dan Umah adalah tempat tinggal dari golongan Wesya dan Sudra. Dengan demikian di periode ini bentuk arsitektur rumah tinggal sangat ditentukan oleh faktor tingkatan kasta, status sosial dan peranannya di masyarakat. 

Pengaruh kebudayaan Majapahit dalam arsitektur Bali juga terlihat dari mulai munculnya penggunaan bata pengganti batu, yakni bata digosokan dengan bata yang lain dengan sedikit air akan luluh dan membentuk konstruksi dinding tanpa siar. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri lagi sejak ditemukannya penggunaan balok bata persegi panjang untuk pondasi di pura Pegulingan, Gianyar Bali pada tahun 1984. Balok persegi panjang ini menyerupai batu bata yang ditemukan di situs Majapahit, Trowulan. Temuan ini memperkuat kepercayaan para ahli bahwa bangunan tradisional Bali banyak melestarikan arsitektur Majapahit.

Pada pemerintahan Raja Dalem Waturenggong datang seorang bhagawanta besar dari Kediri (Jawa Timur), bernama Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau ke Bali untuk perjalanan rohani (tirtayatra) pada tahun 1489, bersamaan dengan pudarnya kerajaan Majapahit. Bhagawanta ini juga seorang budayawan dan arsitek. Kehadirannya sangat mempengaruhi pengembangan dan penyempurnaan ajaran agama Hindu dan pola arsitektur di Bali, hingga membawa masa pemerintahan Dalem Waturenggong ke puncak kebesaran dan kejayaannya. Dang Hyang Nirartha menegaskan kembali Keesaan Tuhan melalui konsep arsitektur Padmasana sebagai bangunan tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu perjalanan beliau di Bali banyak berkaitan dengan kehadiran tempat suci yang ada di sepanjang pesisir pantai Bali. 

Dang Hyang Nirarta kembali menegaskan ajaran Çiwa Siddhanta dengan memuja Tri Purusa yang merupakan perwujudan Tuhan dalam posisi vertikal sebagai penguasa tiga dunia yakni: Dewa Çiwa penguasa dunia bawah/‘nista’; Sada Çiwa penguasa dunia tengah/’madya’; dan ketika Beliau berada di alam atas/’utama’ dikenal dengan nama Parama Çiwa. Tri Purusa sebagai pedoman dalam setiap kegiatan ritual masyarakat Bali hingga pada perwujudan arsitekturnya. Konsep alam ‘atas’, alam ‘tengah’, dan alam ‘bawah’ berlaku menyeluruh dalam perencanaan arsitektur dari saat penentuan teritorial, tata letak bangunan, tata nilai, hingga pada ragam hias Arsitekturnnya.

Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review