Tri Angga adalah ungkapan tata nilai pada ruang terbesar jagat raya mengecil sampai elemen-elemen terkecil pada manusia dan arsitektur. Pada alam semesta (bhuwana agung) susunan tersebut tampak selaku bhur, bhuwah dan swah (tiga dunia/tri loka) bhur sebagai alam ‘bawah’ adalah alam hewan atau butha memiliki nilai ‘nista’, bwah adalah alam manusia dengan nilai ‘madya’ dan swah alam para Dewa memiliki nilai ‘utama’. Demikin pula pada manusia (bhuwana alit) ungkapan tata nilai ini terlihat pada tubuhnya yang tersusun atas: kaki sebagai ‘nista angga’, badan sebagai ‘madya angga’ dan kepala adalah ‘utama angga’. Konsep Tri Angga ini diproyeksikan dalam setiap wujud fisik arsitektur, teritorial perumahan dan teritorial desa.
Pada arsitektur konsep Tri Angga menampakan dirinya dengan jelas, yakni rab/atap bangunan adalah kepalanya; pengawak atau badan bangunan selaku madya angga; serta bebataran merupakan kaki sebagai nista angga. Penyusunan Tri Angga pada areal pekarangan rumah, yakni teba (tempat ternak, pembuangan sampah dan kotoran rumah tangga lainnya) selaku nista angga, tegak umah atau tempat massa bangunan adalah madya angga, dan pelataran pemerajan/tempat suci adalah utama angganya. Dalam pola tata ruang desa, pura-pura desa sebagai utama angga, desa pakraman (daerah pemukiman) sebagai madya angga, dan setra atau kuburan sebagai nista angga.
Pada badan manusia yang berdiri vertikal dengan mudah tampak bahwa yang ‘nista’ di bawah, ‘madya’ di tengah dan ‘utama’ di atas. Pada bidang yang horizontal seperti pekarangan rumah dan areal desa, pola tata letak ‘nista-madya-utama’ berpedoman pada orientasi kosmologis dan tata nilai ritual yang menempatkan arah kaja dan kangin sebagai arah ‘utama’, serta kelod dan kauh sebagai arah ‘nista’.
Sumber @ http://bhagawandesain.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar